6. Pesan Tengah Malam

8 3 0
                                    

Malam itu, Nira harus mengambil keputusan. Sebenarnya dia tak sampai hati menerima keputusan Andrian, melibatkan dirinya terlalu jauh dalam permasalahan yeng menimpanya. Namun ketulusan dan perhatian Andrian selama ini, membuat hatinya luluh. Tak ada salahnya dia membuka hatinya untuk Andrian. Andrian telah lama dia kenal, malahan jauh sebelum dia mengenal Wahyu. Dia juga tak menyadari jika Andrian memendam rasa suka pada dirinya.

“Bagaimana keputusanmu, Nir. Aku tak akan memaksamu jika kamu ragu!” kata Andrian sambil menatap manik bola mata Nira yang tampak berkabut.

Nira sejenak diam, akhirnya dia mengangguk. Ibunya menghela napas, tampak raut  wajahnya sumringah. Seolah beban berat yang menimpanya terlepas sudah.

“Alhamdulillah. Tapi bagaimana dengan orang tua Nak Andrian, apa mereka akan mau menerima Nira?” tanya sang ibu merasa cemas, takut harapannya akan kandas kembali.

“Insyaallah, nanti Andrian akan segera membicarakannya dengan mama dan papa,” jawab Andrian membuat ibunya Nira sangat bersyukur sekali.

*

Andrian malam itu langsung mengajak mama dan papanya berbincang-bincang. Memang sebelumnya  dia sering bercerita tentang Nira. Kebetulan mereka sedang berada di rumah.

“Pah, Mah. Ada yang akan Andrian bicarakan,” kata Andrian sambil menggeser duduknya mendekati mereka.

“Tentang apa, Nira temenmu itu?” tanya mamanya menebak arah pembicaraan Andrian, karena beberapa hari ini, temanya selalu tentang Nira dan Nira saja. Andrian mengangguk.

“Iya, Ma. Andrian mau menikahi Nira,” katanya mantab. Ratna, Mama Andrian tersedak, karena dia sedang menyeruput segelas teh yang ada di depannya.

“Apa mama tak salah dengar. Bukankan dia ...,” kata Ratna tak jadi melanjutkan kata-katanya.

“Karena alasan itulah Ma, Pa. Andrian mengambil keputusan itu. Andrian tak ingin Nira semakin terpuruk, Andrian ikhlas mencintainya. Andrian hanya minta doa restu dari Mama dan Papa,” pinta Andrian dengan memohon.

“Tapi apa yang akan dikatakan teman-teman papa jika tahu menantu papa adalah korban perkosaan?” tanya Wisnu, papanya Andrian.

“Insyaallah tak akan ada masalah. Pa, Ma. Andrian tak mempermasalahkan hal itu.  Nanti kami akan pindah dan tak akan tinggal di sini. Kami akan membuka lembaran baru. Andrian tak rela Nira terpuruk, Ma ... Pa. Mohon restui niat suci Andrian kali ini. Semua demi kebahagiaan Andrian,” kata Andrian memohon kepada orangtuanya.

“Beri kami waktu, kami tak ingin kau menyesal karena salah pilih pasangan hidup. Coba kau pikir juga. Jangan dibutakan mata hatimu karena cinta semata!” seru Wisnu.

“Ya, Pa. Andrian sudah berpikir masak-masak. Andrian akan tetap menikahi Nira.”

“Meskipun orangtuamu tak setuju?” tanya Ratna sambil menghembuskan napasnya.

“Andrian yakin, Mama dan Papa tak akan rela ada seorang gadis yang sedang butuh dukungan karena jiwanya terguncang, butuh tangan-tangan yang mengangkatnya. Allah memilih Andrian untuk menjadi pendamping Nira, mengobati traumanya.” Kata Andrian dengan yakinnya.

“Kau memang keras kepala, An. Tapi kalau memang itu yang menjadi keputusanmu. Papa hanya mengharap agar kau bisa bertanggungjawab terhadap keputusanmu itu. Jika ada apa-apa yang terjadi kelak, jangan pernah menyesal!” kata Wisnu sambil menepuk punggung Andrian.

“Terimakasih, Pa.” Andrian berdiri dan memeluk papanya.

“Tapi kan mama belum memberikan ijin, jangan senang dulu kau, An!” seru Ratna.

“Andrian yakin, Mama pasti akan memberikan hal yang terbaik buat anak ganteng ini kan?” seloroh Andrian sambil beralih memeluk Ratna.

Andrian tersenyum bahagia, restu dari orangtuanya sudah dalam genggamannya. Rencana esok hari dia akan menemui Nira dan keluarganya.

*

Suasana gelap, Andrian merasa gelisah, angin dingin menerpa tengkuknya. Jarum jam berdentang dua kali, berarti pukul 02.00. Rasa haus membuatnya terbangun dan menuju dapur. Dia mendengar langkah kaki dari luar rumahnya. Tiba-tiba dia melihat Wahyu melintas di depannya. Dia berdiri tepat di dekat jendela. Tangannya menggapai-gapai seolah meminta dia mendekat.

Diberanikan dirinya melangkah mendekati jendela. Nampak bayangan samar seseorang dengan kedua tangan menempel pada kaca jendela. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dikucek keduda matanya, antara percaya dan tak percaya. Antara takut dan penasaran membuat bulu kuduknya berdiri. Namun diberanikan juga tangannya untuk membuka tirai yang menutupi sebagian jendela itu.

Dia terhenyak, membuatnya mundur dua langkah. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan keringat dingin mendadak mengucur membasahi tubuhnya. Terlihat sangat jelas sosok Wahyu dengan wajah penuh darah dan tatapan memelasnya. Seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan olehnya. Mulutnya komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Matanya terus memandang Andrian tajam, seolah ingin berbicara sesuatu.

Andrian diam menunggu Wahyu mengatakan sesuatu, namun hanya suara erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya. Tangannya terus menggapai-gapai seolah meminta Wahyu melakukan sesuatu. Andrian mencoba mendekati Wahyu, namun kakinya seakan terpaku tidak dapat dia gerakkan.  Andrian menatap Wahyu lekat, tanpa berkedip. Sedangkan Wahyu masih bergeming dalam tatapan sendu dengan air mata yang terus menetes membasahi pipinya yang banyak goresan di sana-sini.

“Ni ... Ra, to ... long ... ja ... ga ... dia!” suara itu terdengar pilu. Andrian mendengar suara itu akhirnya keluar juga dari mulut Wahyu. Dilihatnya air matanya mengalir. “Ja ... ga ... dia, bu ... at ... dia ... ba ... ha ... gi ... a!” serunya lirih diantara deru angin yang menerpa dedaunan.

“Wahyu ... ya, aku kan menjaganya. Jangan khawatir. Tenanglah kau di sana!” jawab Andrian. Ingin dia mendekat ke arah sosok Wahyu, namun sampai detik ini, kakinya masih belum bisa dia gerakkan.

Bayangan Wahyu semakin lama semakin pudar hingga akhirnya menghilang, dia tersenyum padanya sebelum pergi. Peluh membanjiri tubuh Andrian, padahal udara sangat dingin. Diusapnya peluh yang membanjiri bajunya.

Perlahan dibukanya matanya, ternyata dia bermimpi di datangi Wahyu. Dia akan berjanji untuk menjaga Nira sebagaimana pesan Wahyu lewat mimpinya.

*

Di saat yang sama, Nira juga gelisah, harapannya untuk menikah dengan Wahyu hanya tinggal kenangan. Sejujurnya, bayangan Wahyu masih menghiasi pelupuk matanya.  Setiap dia mengingat kejadian itu, hatinya terasa teriris-iris. Wahyu meninggal di depan matanya, sedangkan dia tak bisa berbuat apa-apa. Semua gelap dan sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan cobaan yang menimpa dia sekarang ini.  

Dia tak sampai hati, menyeret Andrian untuk menutupi aib yang dia tanggung. Dia tahu, Andrian adalah sahabat yang sangat baik. Andaikan saja dia tak mengandung anak penjahat itu, tentu nasibnya tak akan seperti ini.

“Ah ..., kenapa harus aku yang bernasib sial seperti ini ...!” dipeganginya kepalanya yang terasa berputar. Air matanya menetes membasahi pipinya. Nira kalap, matanya nanar seperti orang kesurupan.

*

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang