9. Gaun Pengantin

7 2 0
                                    

Tak menunggu lama, esok harinya, Andrian mengurus segala administrasi untuk proses pernikahan. Rencananya, mereka hanya mengundang saudara dan tetangga dekat saja. Tak ada acara resepsi pernikahan yang meraih.

Andrian mengajak Nira ke salah satu teman mereka, untuk memesan busana untuk akad nikah yang akan diadakan seminggu lagi. Meski hanya kerabat dekat yang diundang, menggunakan gaun pengantin itu perlu dia siapkan, meskipun gaun yang cukup sederhana.

“Kau mau mengajakku ke mana, An?” tanya Nira yang tampak sedikit cerah, mendung yang menyelimuti wajahnya perlahan sirna. Dia memakai kaos hijau toska lengan panjang, dipadu dengan celana kulot warna hijau tua, rambutnya dibiarkan terurai. Tampak sangat anggun dan segar.

Andrian terpana melihat calon istrinya yang tampak semakin cantik. Dia terbengong-bengong sambil tak berkedip. Nira, tak pernah berubah, tetap kelihatan cantik meski masalah berat menimpanya. Hanya gurat kesedihan itu masih kelihatan menggantung di matanya, meskipun dia telah berusaha untuk tersenyum ceria.

“Hai ..., An. Kau kesambet apaan sih?” tanya Nira sambil menjentikkan tangannya tepat di muka Andrian.  Dia mencoba untuk sejenak melupakan kegundahan dalam hatinya. Meski sejujurnya hatinya masih ragu dengan keputusan Andrian, hanya dia tak enak selalu saja menampakkan wajah sedihnya di depan Andrian.

“Maaf, aku terpesona melihatmu!” serunya lirih sambil tersipu malu, “Kau cantik sekali!” katanya sambil menggandeng Nira menuju mobilnya.

“Gombal!” seru Nira sambil tersenyum. Lega rasanya Andrian, melihat keceriaan di wajah Nira. “Kita mau ke mana, pertanyaanku belum kau jawab?”

“Oh ... belum, ya. Ikutin aja, nanti kau juga tahu sendiri!” jawabnya sambil membukakan pintu mobil dan menyuruh Nira masuk. Nira masuk ke dalam mobil, Andrian berlari menuju pintu samping, kemudian menjalankan mobilnya menuju jalan raya. Ia ingin sejenak menikmati kebersamaan ini.

*

Mobil melaju dengan perlahan, membelah jalanan di kota kecil tersebut. Sampailah di sebuah butik ternama yang ada di kotanya. Tampak Anton datang tergopoh-gopoh menyambut mereka.

“Hai, Andrian. Apa kabarmu. Hallo juga si cantik, Nira. Tambah cantik saja dikau ini!” seloroh Anton dengan bahasanya yang gemulai. Anton, dia adalah kawan semasa SMA mereka. Dia memang berbakat dalam dunia desainer dan permodelan. Usahanya termasuk maju, beberapa salon dan butik ternama adalah miliknya. Dia juga membuka usaha jasa weeding organizer. Semua usaha yang disentuh tangannya laris manis. Tak sedikit karyawan yang dia miliki.

Mereka saling berpelukan, melepas kerinduan karena memang jarang bertemu. Sibuk dengan dunianya masing-masing.

“Kabar baik, Ton. Semakin sukses saja usahamu, ya. Ikut seneng nih,” kata Andrian sambil menjabat tangan Anton. Si Anton tertawa lebar. Sambil mengajak masuk ke dalam ruangannya.

“Masuk yuk. Kita bisa bebas berbincang-bincang di dalam!” ajaknya sambil membukakan pintu ruangannya. Dia memberi kode kepada pegawainya untuk memberikan sekedar makanan kecil untuk dihidangkan pada tamunya. Andrian dan Nira.

“Denger-denger kalian jadian, ya?” tanya Anton sambil melirik Nira, Nira hanya tersenyum dan memandang Andrian.

“Ya ... gitulah. Makanya kami datang ke sini mau minta bantuanmu. Bisa kan?” tanya Andrian penuh harap pada Anton.

“Tentu ... tentu saja aku siap membantu kalian. Apa yang tuan raja dan tuan putri titahkan pasti akan patik lakukan!” serunya sambil tertawa.

“Terimakasih, aku percaya kau bisa diandalkan!” seru Andrian menatap lucu pada Anton yang kian gemulai saja.

“Kapan rencana perkawaninan kalian?” tanya Anton sambil membuka buku catatannya.

“Enam hari lagi,” jawab Andrian.

“What?” tanya Anton sambil menutup mulutnya yang menganga.

“Kenapa?” tanya Andrian bingung.

“Cepet amaaaat, bok. Hummmm,” katanya sambil menepuk jidatnya dan mata menyipit. Duh, apa bisa. Lihat itu tumpukan kain yang harus dikerjakan semua. Gimana ini, tapi it's okelah. Akan aku usahakan, kalian prioritas utama. Tapi jangan bilang-bilang lho, ya!"

“Oke Ton, aku yakin kau sehari aja bisa kok membuatkan baju pengantin buat kami,”

“Hummmm, berarti jatahku empat hari dari sekarang ya.” Diketuk-ketuknya ujung pen di atas bukunya.  Lalu dia mencoba mencoret-coret kertas yang ada di depannya. Tak butuh lama, coretan itu jadi, lalu disodorkannya pada Andrian dan Nira.

"Seperti ini, bagaimana?"

“Keren!” kata Andrian sambil menunjukkan jempolnya pada Anton. Nira menerima sketsa gambar yang diberikan Andrian, lalu mengangguk-angguk. Gambar gaun pengantin yang sederhana tapi tampak elegan, itu penilaian menurut Andrian. Andrian menyukainya, begitupun dengan Nira.

“Kau memang hebat,Ton. Tak butuh waktu lama, sketsa rancangan gaun pengantin ini kelar. Aku suka. Desainnya cukup sederhana namun sangat cantik,” kata Nira sambil menyerahkan gambar itu kembali pada Anton.

“Ok. Deal sketsa ini, ya? Hari ini juga biar bisa aku kerjakan. Biar detailnya segera dipasang.” Anton bangkit dari kursinya dan mengambil beberapa sample potongan kain, lalu memberikannya pada Andrian dan Nira.

“Pilihlah, kain dan motif yang mana kau inginkan?” Andrian dan Nira menerimanya. Mereka membuka lembar demi lembar kain tersebut, kemudian saling menatap dan menggeleng bersama. Mereka tertawa.

“Aku tak paham,Ton. Terserah kamu sajalah bagaimana bagusnya!” ujar Andrian sambil menyerahkan potongan kain itu kembali pada Anton.

“Hummm, okelah. Aku pilih ini. Karena ini warna kesukaan Nira sejak dulu. Benar kan, Nir?” tanya Anton sambil tersenyum genit pada Nira.

“Jadi, kau juga dulu perhatian sama Nira, ya?” ledek Andrian sama Anton.

“Ha ... ha ..., cowok mana yang tak tertarik sama Nira, cowok idiot itu namanya,” tawa mereka terdengar membahana. Muka Nira merona, tersipu malu.

"Hahahaha, kirain kau jeruk makan jeruk?"

"Hahahaha, gini-gini aku lelaki tulen, mau bukti?"

"Abis, kamu makin melambai ... jadinya ya orang akan salah persepsi kalau lihat kau seperti ini Ton."

"Hehehe, ya gak tau An. Aku dah berusaha untuk menjadi lelaki yang seperti kalian. Tapi ujung-ujungnya ya seperti ini lagi. Ya sudahlah, aku jalanin aja," katanya tersenyum.

Anton menunjukkan sampel kain yang ia pilih, "Ini kainnya lembut, simple dan enak dipakai. Bagaimana?" tanya Anton.

“Bagaimana, Nir. Kau suka warna pilihan Anton?” tanya Andrian.

“Iya, aku suka,”  jawab Nira.

"Ok. Pake kain ini ya. Nanti aku usaha secepatnya. Hari ini aku ukur dulu nanti kalau sudah jadi aku akan kabari kalian berdua."

"Sip. Makasih banyak ya."

"Sama-sama."

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang