14. Terjebak di Pulau Terpencil

22 3 0
                                    

Dengan berbekal ijasah SMA, Wahyu merantau ke Jakarta. Dia tergiur buaian cerita teman-temannya yang pulang dari ibukota. Dengan tekat keberanian, dia jejakkan kakinya turun dari ular panjang yang membawanya pergi dari desanya.

Teringat sehari sebelum keberangkatannya. Ibu Wahyu terasa berat melepaskan kepergiannya. Namun tekatnya yang tak bisa dicegah, akhirnya sang ibu pun pasrah dan mendoakan semoga Wahyu sukses di perantauan.

***

Senja di tepi pantai sehari sebelum dia berangkat, bertemu dengan Nira.

"Nira, maaf. Besok aku harus merantau ke Jakarta. Ibuku tak sanggup membiayai aku untuk kuliah. Adik-adikku butuh biaya. Aku harus berjuang keras untuk membiayainya." Dilihatnya mata Nira yang mulai berkaca-kaca. "Ku harap kau mengerti. Insyaallah aku akan selalu menghubungimu," katanya lirih.

Nira tak bisa berkata apa-apa, selain merelakan kepergian Wahyu.

***

Wahyu duduk di bangku yang ada di peron. Dibukanya ransel yang ada bekal roti di dalamnya. Dia makan untuk mengganjal perutnya.

Kemudian dia mengedarkan pandangannya. Dibukanya pesan masuk dari hpnya.

[Langsung menuju pintu keluar, aku tunggu di sana] pesan dalam HP-nya.

Wahyu mengikuti petunjuk sesuai yang terdapat dalam pesan WA-nya. Dia berdiri dan menuju pintu keluar. Dari jauh dia sudah melihat Bagus melambaikan tangan dan berteriak memanggilnya.

Bagus adalah teman sedesanya yang sudah merantau sejak lulus SMA dulu.

***

"Kau sudah siap dengan tugasmu sekarang?" tanya Bagus pada Wahyu. Wahyu mengangguk dan mengikuti ke mana Bagus melangkahkan kaki.

Suatu ruangan yang tertutup. Gelap. Dia tak tahu kemana Bagus membawanya. Pesannya sebelum berangkat, dia dilarang bertanya tentang apapun.

Kini dia duduk di ruangan yang sangat dingin. Lampu temaram padahal hari masih siang. Terdengar suara langkah kaki menggema di ruangan. Dalam ruangan ini ada sekitar empat lelaki yang tampak kekar dan berotot.

Sesosok perempuan duduk dengan anggun di kursi paling depan. Matanya memandangnya tajam. Dari bawah hingga ke atas. Wahyu risih melihatnya.

"Bunda. Ini Wahyu. Pemuda yang saya ceritakan kemarin dan siap bekerja untuk kita," ucap Bagus sambil melirik Wahyu dan memberi kode untuk memberi salam hormat pada perempuan yang dipanggilnya bunda itu.

Wahyu berdiri dan menundukkan kepalanya. 

Bagus menyodorkan sebuah lembar kontrak kerja pada Wahyu.

"Tanda tangani berkas ini!" pinta Bagus pada Wahyu. Wahyu memandang Bagus, dia mengangguk. Ada keraguan dalam hati Wahyu. Namun wajah ibu dan adik-adiknya terbayang dalam ingatannya. Dia langsung menandatangani kontrak perjanjian itu.

"Berikan uang mukanya, biar dia bisa kirimkan ke orangtuanya. Biar besok dia langsung kerja!" Perintah perempuan itu tersenyum sinis.

Wahyu, diantar Bagus menuju kantor Bank terdekat. Dikirimkan gaji pertamanya kepada ibunya di kampung. Tak pernah dia memegang uang dalam jumlah yang sangat besar selama ini.

"Bagaimana Yu, senang Kau sekarang?" tanya Bagus dibalas anggukan Wahyu.

***

Kapal pesiar itu membawa Wahyu mengelilingi sebuah lautan yang entah apa namanya dia tak mengetahuinya. Sepanjang jalan dia hanya melihat lautan tanpa tepi. Bagus yang diperintahkan sang bunda selalu menemani dan memberi tahu apa saja yang harus dia lakukan.

Tampak di kejauhan, warna coklat hijau makin terlihat jelas. Kapal pun mulai merapat ke daratan. Bagus mengajak Wahyu turun. Menuju dermaga. Sudah ada dua lelaki yang menjemputnya. Tanpa banyak pertanyaan Wahyu mengikuti ke mana Bagus berjalan.

Setelah beberapa saat, tampaklah bangunan mewah tersembunyi di balik rerimbunan pepohonan. Seperti hutan di tengah pulau kecil.

"Nah, tugas kamu di sini. Kamu menemani dan melayani semua kebutuhan anak bunda. Kau tak boleh membantah apa yang dia minta," terang Bagus, "Kalau kau belum jelas, kau bisa tanya sama bik Jum. Dia juru masak di sini. Ini hpmu yang baru. Kau hanya boleh menghubungi nomor yang ada di situ. Selain itu tak boleh. Jika kau melanggar perintah, keluargamu menjadi jaminannya!" terang Bagus sambil menepuk punggungnya.

Wahyu hanya mengangguk namun pikirannya melayang, tak fokus dengan penjelasan Bagus.

Bagus mengantarkan dirinya ke sebuah kamar. Cukup besar dibandingkan kamar di rumahnya.

Dia bingung, sebenarnya apa tugas dia di sini. Siapa majikannya sebenarnya. Namun dia tak berani bertanya.

Seharian di dalam rumah, dia belum berjumpa siapapun. Hanya dua lelaki yang jaga di gerbang masuk bangunan ini. Hatinya penuh pertanyaan, sebenarnya apa pekerjaan Bagus. Namun semua ditepisnya. Yang dia ingat, Bagus adalah kawannya.

Esok harinya, Bagus pamit mau kembali ke Jakarta. Dia hanya mengangguk, meskipun di hatinya penuh dengan berbagai pertanyaan. 

Kini, dirinya sendirian di rumah yang sangat asing.

Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Dilihatnya seorang gadis dengan wajah pucat menghampirinya.

"Mulai sekarang, kita adalah kawan. Aku kesepian di sini. Sebuah pulau asing yang tak berpenghuni. Hanya kita yang ada di sini. Kau tau. Orang yang sudah berada di sini akan susah untuk keluar. Apa kau tau itu?" tanya gadis itu.

Wahyu menggeleng.

"Namaku Miranda, kau siapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya. Wahyu tersenyum. Gadis itu ternyata ramah, tak sesadis wajahnya. Dia menyambut uluran tangan Miranda.

"Wahyu," jawabnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang