3. Menjadi Buah Bibir

11 4 0
                                    

Kabar tentang kematian Wahyu dan tragedi berdarah di pinggir pantai menjadi tranding topik di kotanya. Kabar itu bagaikan api yang terus berkobar, ditiup angin hingga beterbangan ke mana-mana. Di kafe-kafe, pasar, pabrik bahkan di persawahan pun tak lepas dari membicarakan tragedi berdarah itu.

Begitupula di grup Alumni SMA Wahyu. Mereka tak pernah menduga, akhir hidup Wahyu setragis itu. Wahyu yang dikenal bertabiat baik dan tak neko-neko, namun meninggal di tangan para pemuda tak dikenal. Sampai hari ini, pihak kepolisian yang mengusutnya, belum menemukan titik terangnya.

Andrian, sahabat sebangkunya saat kelas tiga SMA begitu mendengar berita kematian Wahyu, langsung mengambil cuti dari kantornya. Untunglah atasannya langsung memberikan ijin. Andrian langsung memesan tiket penerbangan hari itu juga.

*

Andrian memasuki rumah duka, tampak ibunya Wahyu bersedih. Dia hampiri ibu Wahyu yang matanya masih sembab, lalu dipeluknya erat. Raut kesedihan masih jelas menyelimuti keluarga Wahyu. Kawan-kawan semasa SMA juga berkumpul di rumah Wahyu, ikut mengantarkan jenazahnya hingga ke tempat terakhir. Suasana duka melingkupi hati para pelayat.

Usai dimakamkan, para pelayat pun kembali ke rumahnya masih-masing. Tak terkecuali Andrian dan kawan-kawannya.

*

Andrian sedang membaringkan tubuhnya di kursi panjang teras rumah. Kebiasaan itu masih saja dilakukannya. Sambil memandang tanaman yang tertata rapi di halaman rumah. Ibunya memang penyuka bunga. Beraneka warna bunga ditanam, hingga layaknya sebuah taman bunga yang indah. Andrian, meskipun laki-laki, dia juga penikmat bunga. Di kursi inilah, tempat yang sangat disukainya saat hatinya sedih ataupun gundah. Taman bunga menjadi kawan sejatinya.

Hpnya berdering, dengan malas dia bangkit dan mengambilnya. Terdengar panggilan masuk, Hamid. Dia menelponnya.

“An, posisimu di mana?” tanya Hamid dari seberang, “Apakah kau sudah mendengar berita tentang Wahyu?” tanyanya lagi. Andrian mengangguk. Meskipun dia mengangguk, jelaslah si Hamid yak akan melihat anggukannya. Andrian pun tersenyum sendiri.

”Iya, nih aku sedang di kampung. Tadi siang dari rumah duka,” jawabnya sambil tetap rebahan di kursi panjangnya.

“Oke deh, aku barusan buka hp, jadi ketinggalan info. Baiknya bagaimana ya?” tanya Hamid dari seberang.

“Datanglah, kita hibur ibunya Wahyu dan Nira juga. Kasihan mereka!” bujuk Andrian.

“Siap, aku langsung ke situ ya. Tapi mungkin nyampainya nanti malam. Kau sudah bertemu Nira?” tanya Hamid.

“Belum. Aku tunggu kamu saja, ya!” jawab Andrian.

“Ok. Mpe ketemu besok.”

Andrian menghela napasnya, tiba-tiba bayangan Nira hadir dalam benaknya. Terlihat wajahnya yang sendu berurai air mata, “Ah, Nira. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya dalam hati. Ingin rasanya dia segera menemui Nira, menenangkan dan menghibur hatinya. Namun dia telah berjanji akan menunggu Hamid untuk datang bersamanya.

Belum sempat diletakkan hpnya, ada notifikasi pesan masuk dari Indra.

[An, nanti habis magrib, kita kumpul di rumah duka. Ada acara doa bersama, setelah itu kita kumpul-kumpul temu kangen di Java’s Cafe.]

[Oke, siap], balasnya.

*

Pukul 19.30 setelah salat Isya di masjid, acara doa bersama pun di mulai. Ustaz Rafi memimpin doa bersama, mendoakan agar arwah Wahyu tenang di sisi Allah, semua dosa selama di dunia diampuni dan amalnya diterima Allah SWT. Ustaz Rafi pun memberikan sedikit tausiyahnya di akhir pembacaan doa.

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang