Mimpi yang dialami Nira seperti nyata. Dia merasa benar-benar bertemu Wahyu, namun ombak datang menerjang dan memisahkan mereka. Entah apa makna mimpi itu, Nira pun tidak tahu.
Dia menceritakan mimpinya dengan terbata-bata pada ibunya juga Andrian. Sesekali diusapnya embun yang menetes di sudut matanya. Rasa ngeri melihat perahu terbakar dan ombak yang menggulung mereka, membuat dia bergidik dan menelan ludah. Ditutup wajah itu dengan kedua tangannya. Dia tak sanggup mengingat apa yang dialami dalam mimpi itu. Hatinya terluka. Air mata kembali menetes membasahi pipinya.
Ibunya merengkuh kepala Nira lembut, sejenak Nira terpaku dalam kesedihan yang begitu dalam. Cintanya kepada Wahyu sangatlah dalam. Rencana indah sudah mereka susun. Tinggal menentukan hari pernikahan.
“Sudahlah, Nira. Itu hanya mimpi belaka, mungkin itu suatu pertanda. Memang antara kau dan Wahyu bukan berjodoh. Kau harus menerima kenyataan ini. Biarkan dia tenang di sana, kau doakan saja dia!” kata ibunya sambil menepuk lembut punggung Nira.
Andrian duduk di kursi dekat nakas. Sejak tadi biarkan anak dan ibu itu menyalurkan kehangatan. Nira butuh dukungan. Jiwanya masih labil. Dia menyadari hal itu.
Nira mengangguk-angguk, tak enak rasanya terhadap Andrian. Pemuda itu begitu baik dan perhatian padanya. Dia juga yang telah menghiburnya, membangkitkan semangatnya, menerimanya apa adanya. Dalam hati dia berjanji, akan berusaha untuk menerima Andrian sepenuh hati. Dia percaya suatu saat Allah pasti bisa belajar mencintai Andrian, tapi entah kapan saat itu dia tak tahu.
Ibunya Nira pergi keluar, tinggallah mereka berdua dalam kamar. Suasana menjadi hening. Andrian tampak salah tingkah. Meskipun mereka sudah berteman sejak masa SMA namun berada di dekat Nira, hatinya masih saja berdebar kencang.
“An, ...!” panggil Nira lirih. Andrian menatapnya.
“Ya, ada yang bisa aku bantu?” tanyanya sambil berdiri dan mendekati Nira. Lalu duduk di sampingnya. Debaran di dadanya masih keras, dia menarik napas untuk mengurangi kegugupannya.
Sejenak mereka saling tatap dalam diam. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar nyaring. Semilir angin yang masuk lewat sela-sela ventilasi membuat dia sedkit nyaman, meski tak dia sangkal, ada keringat dingin mengalir melewati tengkuknya.
Akhirnya kebekuan itu pun mencair, Nira mendesah panjang, keluarlah suaranya meskipun terdengar lirih.
“Terimakasih, ya. Terimakasih atas perhatiannya,” kata Nira sambil menatap Andrian. Andrian tersenyum, lalu mengangguk. Ditata gemuruh di hatinya agar suara genderang itu tak sampai terdengar oleh telinga Nira.
“Sudah menjadi tanggung jawabku, Nir. Kau adalah calon istriku. Jadi apa pun akan aku lakukan untuk membuatmu bahagia,” jawab Andrian masih dengan tersenyum.
“An, aku takut ...!” serunya sambil mendesah.
“Takut apa?” tanya Andrian sambil memegang tangan Nira dan mengelusnya lembut.
“Aku takut, kalau ini hanyalah mimpi. Mimpi mendapatkan dirimu. Ah ... terlalu sakit jika ini semua hanya mimpi saja, dan kau menikahiku karena kasihan kepadaku kan. Aku tak pantas bersanding denganmu, An. Kamu pikirkan lagi masak-masak, mumpung semua belum terjadi. Aku tak ingin kelak kau akan menyesal, karena pernikahan tanpa cinta. Aku tahu, pernikahan tanpa cinta itu bagaikan sayur tanpa garam, akan hambar, An.” Nira mencoba menelusuri lingkaran hitam pada netra Andrian.
“Jadi kau belum yakin akan kesungguhanku, Nira?” tanya Andrian, “Aku sungguh-sungguh dan tak pernah main-main. Hanya satu gadis yang ada dalam hatiku, sejak dulu hingga sekarang. Percayalah padaku, Nira.” Ditatapnya wajah sendu Nira, tampak butiran bening menetes dari matanya.
“Tapi aku tak pantas untukmu, gadis yang tak punya masa depan, gadis hina. Aku sudah ....” Andrian menutup bibir Nira dengan telunjuknya.
“Bukankah sudah berulang kali kukatakan padamu, Nira. Aku tak perduli dengan keadaanmu. Aku tulus mencintaimu. Ibumu juga merestui kita. Percayalah padaku, biarkan aku menjadi bagian dari hidupmu. Biarkan kuhapus duka di matamu, biarkan aku basuh luka hatimu.”
“Tapi aku takut, An. Orang akan mencemooh kita. Orang akan mempergunjingkan keadaanku, hu … hu ….” Nira menangis tersedu. Andrian merengkuh kepala Nira, membiarkan air mata itu tumpah lagi.
“Nira, puaskanlah menangis saat ini. Setelah itu tak akan aku biarkan lagi air matamu menetes pilu. Akan aku hapus semua kesedihanmu dengan kebahagiaan. Yakinlah itu, Nira. Allah tak akan terus menciptakan malam, namun Allah juga menciptakan siang!” ujar Andrian sambil mengusap air mata Nira. Nirapun terharu dengan kesungguhan hati Andrian. Ibunya yang berada di balik pintu tak kuasa menahan air matanya. Dia ikut terharu dengan ketulusan dan pengorbanan Andrian.
"Setelah gelap akan timbul terang, kau harus percaya itu. Jadikanlah dirimu orang yang bersabar dan ikhlas menerima semua cobaan ini. Yakinlah itu, Nira!""Tapi kenapa Allah menimpakan cobaan ini kepadaku, An?"
"Karena Allah sayang padamu!"
"Kalau Allah sayang padaku, dia tak akan memberikan aku hal nista ini. Huhuhuhu ...."
"Nira, Allah memilihmu memberi ujian karena Dia menganggapmu orang yang kuat. Tak ada sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tanpa maksud tertentu. Tentunya Allah telah menyiapkan suatu skenario indah kelak yang kita belum tahu itu apa. Percayalah, aku akan selalu menemanimu untuk menjalani skenario Allah di hari-harimu mendatang."
"An, ...!"
"Apa?"
"Bisakah aku menjalani kehidupan ini, sedangkan aku tak menginginkan dia ada di sini,'" ucap Nira lirih sambil menunjuk perutnya. "Aku tak menginginkannya, huhuhuhu ...," kembali dia menangis. Andrian tahu, beban yang ditanggung Nira teramat berat, dan dia ingin menjadi orang yang pertama dapat meringankan beban itu.
Kesedihan itu belum juga sirna, meskipun Andrian selalu berada di sisi Nira. Berusaha menghapus air mata yang selalu jatuh di pipi putihnya. Rasa tak percaya diri dan hati yang terkoyak membuat jiwanya terguncang. Meski dia menerima tawaran dari Andrian, tapi dia tak yakin dengan keputusannya. Apakah dia bisa tetap berjalan dengan kepala tegak saat orang di sekitar yang menatap dengan sebela mata padanya. Karena aib itu telah mencoreng wajahnya. Bisakah dia menulikan telinga dari gunjingan orang atas kejadian yang menimpanya.
Semua pertanyaan yang muncul dari hatinya membuat dia galau, tak berani untuk keluar rumah menatap mentari pagi. Dia hanya bisa duduk di sudut kamar berteman sepi. Hanya Andrian yang setia datang dan mencoba menghiburnya.
Tapi rasa cinta tak bisa dipaksakan. Dia ingin berteriak sambil lari dari masalah yang menjeratnya. Ingin mati menyusul sang kekasih hati biar beban ini segera usai.
Tatap mata sejuk dan damai ia dapatkan saat melihat mata elang Andrian. Mata yang berbeda dengan mata Wahyu. Wahyu adalah tatapan cinta yang menggelora, sedangkan Andrian adalah tatapan sendu karena kasih sayang. Dia tak memungkiri, kasih sayang yang ditawarkan Andrian tanpa pamrih. Tak ada lelaki manapun yang mau dengan barang bekas, jika tidak ada rasa kasih sayang. Andrian datang saat dia terpuruk, jatuh dan tak berdaya.
Hari-harinya yang kelam sedikit berwarna karena kesungguhan Andrian. Meski dia sadar, cinta belum hadir dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
Ficción GeneralNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...