Nira sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, namun jiwanya masih belum stabil. Ibunya Nira dipesan, agar selalu mengajak Nira bicara dan menghibur dirinya. Dia sangat terpukul, kehilangan orang yang sangat dicintai, calon suami yang lama dinantikan. Satu lagi yang membuat jiwanya terguncang hebat, saat kehormatan yang dia jaga hilang bersama kematian Wahyu.
Sehari-hari, Nira hanya diam dalam kamarnya. Segala upaya ibunya tak membuahkan hasil. Anak gadisnya yang biasanya periang kini menjadi pendiam. Mendung menyelimuti hari-hari Nira, matanya yang berbinar kini tertutup embun. Kesedihan Nampak jelas terlihat dari raut wajahnya. Senyuman yang dulu selalu terukir di bibirnya pun ikut hilang. Semua yang dilakukan ibunya tak membuat Nira tersenyum. Bahkan semenjak itu, Nira banyak berdiam diri di kamarnya, tak banyak bicara dan hanya duduk melamun dengan pandangan mata yang kosong.
Kabar kepulangan Nira sampai ke telinga Andrian dan Hamid, hingga akhirnya mereka sepakat untuk menjenguknya di rumah.
Ibu Nira sangat senang sekali, harapan untuk kesembuhan Nira timbul lagi, apalagi ada dukungan dari teman-teman Nira. Mereka adalah teman semasa SMA, meskipun sekarang mereka telah berpisah, namun hubungan mereka tetap terjalin baik, meski hanya lewat media social.
*
"Bagaiman kondisi Nira, Bu?" tanya Hamid sambil melirik ke arah dalam. Siapa tahu bisa melihat Nira, dirinya sejak lulus SMA dulu belum pernah ketemu lagi dengannya.
"Ya, begitulah. Nak Hamid dan Nak Andrian tahu sendiri. Bencana apa yang menimpanya. Tolong bantu ibu ya, buat Nira ceria kembali. Segala cara dah ibu lakukan, namun dia hanya diam dan diam. Pandangan matanya kosong, seolah taka da semangat untuk hidup lagi!" pinta ibunya Nira, tampak matanya mulai berkaca-kaca.
Andrian dan Hamid saling pandang. Lalu mereka serempak mengangguk.
"Insyaallah kami akan membantu, Bu. Nira adalah sahabat kami. Kami tak rela Nira bernasib seperti ini," ucap Andrian.
"Boleh kami menemui Nira, Bu?" tanya Hamid.
"Silahkan, tapi maaf ya. Kondisi Nira masih belum stabil," kata ibunya Nira sambil mengantarkan mereka ke kamar Nira.
Tampak di depan jendela, seorang gadis cantik diam terpekur menatap langit, bergeming, diam dan matanya kelihatan kosong. Wajahnya pucat, dan kalihatan makin kurus.
Mereka melangkah masuk perlahan. Nira menoleh. Tak ada senyum yang biasanya selalu menghiasi bibirnya.
Andrian duduk si sisi pembaringan. Matanya mengikuti arah ke mana pandangan mata Nira jatuh.
"Nira, bagaimana kabarmu?" tanya Andrian lirih. Nira meliriknya, namun butir air mata jatuh di pipinya. Ditutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Terlihat kepedihan dan kesedihan terpancar dari kedua matanya.
Tiba-tiba Nira memeluk Andrian erat, tangisnya meledak keras hingga bahunya terguncang. Refleks, tangan Andrian membelai lembut rambut Nira. Dibiarkannya tangisan Nira memenuhi kamarnya. Hamid ikut pilu mendengar tangisan yang menyayat hati tersebut.
Beberapa saat, Nira melepas pelukannya. Lalu ditatapnya Hamid.
"An, Mid, Wahyu telah pergi meninggalkanku selamanya. Mereka jahat ... mereka membunuh semua harapanku, huhuhuhu ...." Kembali tangisannya pecah, hingga mata Nira merah dan sembab. Hamid menggenggam lembut tangan Nira, sedangkan Andrian masih menunggu redanya tangisan Nira.
Dengan tersendat-sendat, Nira menceritakan kronologis peristiwa yang menimpanya. Dia percaya, kedua sahabatnya itu dapat menyimpan kisah ini.
"Nira, kamu harus kuat. Allah tak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatNya!" ujar Andrian.
"Betul, apa yang dikatakan Andrian. Kamu harus kuat. Masih ada kami. Keluarkan semua yang ada dalam hatimu. Semoga dapat meringankan bebanmu," tambah Hamid memberi semangat.
Nira menghela napas, sedikit ada secercah harapan dalam hatinya.
"Tapi, apa yang dapat aku banggakan. Tak ada gunanya aku hidup. Pasti orang akan mencemooh aku, jejak-jejak itu tak akan bisa dihapuskan," kata Nira lirih seolah untuk dirinya sendiri.
"Kau jangan pesimis, Nir. Kau korban. Tak ada yang menyalahkan dirimu. Percayalah pada kami. Kami akan selalu mendukungmu!" Seru Andrian.
"Betul. Kami selalu bersamamu," terang Hamid menguatkan Andrian.
"Terimakasih, kalian kawanku yang paling baik," ucap Nira sambil mengusap sisa air matanya.
Hamid pamit keluar karena ada panggilan telepon masuk. Tinggallah Nira dan Andrian di dalam kamar.
"Nira, biarkan aku membantumu menghapus jejak-jejak kesedihan itu. Berikan kesempatan buatku untuk membuang tangismu," kata Andrian begitu lancarnya. Dia juga heran kenapa kata-kata itu begitu lancar mengalir. Nira menatap tak percaya apa yang keluar dari mulut Andrian.
"Apa aku tak salah dengar apa yang kau katakan?" tanya Nira menelisik ke dalam mata Andrian.
"Iya, aku serius. Percayalah. Aku akan membantumu menghapus semua kesedihan yang kau alami. Bangkitlah, aku percaya kau mampu!" serunya.
"Entahlah, An. Aku masih takut. Jejak-jejak itu masih membuatku terhempas dalam jurang yang begitu dalam dan kelam. Tapi aku ingin bangkit. Aku senang kau membantuku," jawab Nira.
"Baiklah. Mulai sekarang, aku akan menjadi kawan sejalanmu untuk menghapus jejak-jejak itu. Percayalah, matahari akan terus bersinar menerangi jalan kita."
"Terimakasih, An. Aku selalu percaya kata-katamu. Kau orang yang baik. Bahkan sejak dulu. Maafkan sikapku selama ini yang tak pernah ada waktu untukmu," ujar Nira lirih. Ada binar kebahagiaan diantara redupnya netranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
Ficción GeneralNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...