10. Luka Itu Menganga Lagi

16 3 0
                                    

Nira, gadis itu terdiam di sudut kamar yang sengaja dia matikan lampunya. Ingatannya terbang pada peristiwa sore itu, saat dirinya pulang dari taman. Dia merasa suntuk sehingga memutuskan untuk keluar rumah. Pilihannya jatuh pada taman dekat rumahnya.  Biasanya dia hanya duduk-duduk saja di teras rumahnya karena takut akan menjadi buah bibir tetangganya. Namun entah mengapa langkah kakinya menuntunnya menuju tempat itu.

Sore ini, langit senja tampak cerah. Dia berjalan sendiri menuju taman dan memilih kursi di sudut sehingga bisa melihat para pengunjung lainnya. Dulu, saat dia masih SMA sering datang ke tempat ini. Di kursi ini juga dia duduk, bukan sendiri melainkan bersama Wahyu.

Entahlah, apa alasan lainnya yang ada di benak Nira sehingga datang kembali ke tempat ini.  Pikirannya belum sepenuhnya melupakan Wahyu, meskipun dia sudah menerima lamaran Andrian. Dia juga sudah berusaha menepis bayangan Wahyu dari hatinya, namun bayang-bayang Wahyu selalu datang dan datang lagi dalam alam bawah sadarnya.

Mozaik masa-masa saat bersama Wahyu muncul kembali bagaikan slide demi slide yang terputar di depan matanya. Kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan. Mereka selalu bersama-sama ke manapun mereka pergi. Hingga akhirnya usai SMA mereka berpisah, namun cinta mereka tetap bersemi hingga peristiwa di tepi pantai memporak-porandakan semua impian yang  telah mereka bina sejak SMA dulu.

Angin senja mempermainkan anak rambut yang dibiarkan terberai, sesekali dirapikan anak rambut itu yang menutupi wajahnya. Dia masih diam terpaku menatap langit yang kian gelap. Hingga sayup-sayup dia mendengar suara berbisik tak jauh dari tempatnya berada. Ingin ia abaikan suara-suara itu dari pendengarannya, tapi tetap saja gelombang bunyi itu terbawa udara hingga ke telinganya.

Empat orang itu sekilas melihat dirinya, kemudian berbicara lagi. Begitu seterusnya.

“Eh, Bu Lidia, Bu Aris,  Bu Erni. Lihat di sudut taman itu bukannya si Nira, ya?” tanya bu Marni sambil sudut matanya menunjuk ke arah Nira. Sontak saja kedua wanita itu langsung melirik Nira.

“Iya, itu si Nira. Lho, bukannya dia mengurung diri di rumah terus, tumben berada di sini?” sahut bu Lidia sambil mengernyitkan dahinya.

“Betul, itu si Nira. Denger-denger si Andrian mau menikahinya. Kok mau-maunya sih dia menikahi gadis yang sudah ternoda, kayak tak ada gadis lain saja. Kalau aku jadi ibunya Andrian, tak akan aku ijinin tuh si anak nikahin wanita yang sudah tak suci lagi. Hiiiii …!” seru bu Aris sambil bergidik.

“Iya … ya, si Andrian itu sayang banget. Padahal dia itu ganteng, dari keluarga berada, sarjana dan sekarang sudah bekerja. Dengan semua fasilitas yang dia punyai pasti gadis-gadis tak akan menolaknya. Hemmmm, dia malah milih si Nira. Apanya coba yang bisa dibanggakan dari gadis seperti itu. Tak ada kan?” ujar bu Lidia sambil bersungut-sungut.

“Betul itu, Bu Lidia. Apa si Nira pakai guna-guna ya. Hampir semua pemuda di sini suka sama dia.  Anakku, si Ryan juga pernah mendekati dirinya, tapi aku larang. Untung saja si Ryan menurut apa kata-kataku, coba kalau dia tetap mendekati si Nira, tak tahulah apa jadinya dengan si Ryan,” terang bu Marni sambil mulutnya mengerucut.

“Oalah, si Ryan juga sempat jatuh hati to sama si Nira. Kirain hanya si Aldi yang tertarik sama Nira. Tapi si Aldi ditolaknya. Katanya waktu itu dia masih menunggu si Wahyu,” jawab bu Lidia lagi.

“Sudah, sudah. Tak baik membicarakan anak itu!” seru bu Erni mulai tak suka. “Harusnya kita kasihan dengan nasib yang  menimpa si Nira. Dia itu hanya korban. Apa Ibu-ibu mau  jika nasib Nira misalkan menimpa keluarga Ibu Lidia, Ibu Aris dan Ibu Marni. Mau si Intan atau si Mayang seperti itu? Ini bukannya bersimpati malah menyalahkan Nira,” kata bu Erni yang tak suka dengan temannya yang menggunjing Nira.

“Kok Bu Erni ikutan sewot sih. Kami kan bicara apa adanya. Kasihan Andrian, tidak makan nangkanya tapi dapat getahnya. Bukan begitu Bu Lidia?” tanya bu Mirna kepada bu Lidia dan dijawab dengan anggukan. Mereka serempak mengangguk. Membenarkan perkataan bu Lidia.

“Ya Allah, kenapa kalian suka membuat orang lain menitikkan air mata sih, lihat itu!” tunjuk bu Erni pada Nira. “Dia pasti mendengar obrolan Ibu-ibu, lihat dia menangis!”

“Lho, saya kan tidak ngapa-ngapain si Nira. Kok kami yang disalahkan sih. Pasti bu Erni juga sudah kena guna-guna si Nira nih. Sehingga membela dia.” Bu Lidia tak mau disalahkan oleh Bu Erni.

“Astagfirullah, istigfar Bu. Kalau yang ibu tuduhkan itu tidak benar, jatuhnya menjadi fitnah!” Bu Erni mengelus dada mendengar perkataan bu Lidia yang sangat pedas. Dilihatnya Nira bangkit dengan berurai air mata. Dia pun bangkit dan menyusul gadis itu.

Nira yang mendengar gunjingan mereka, meski sayup-sayup namun mengguncang hatinya. Air matanya menetes bagaikan hujan yang belum reda kembali jatuh semakin deras. Hal seperti inilah yang tak diharapkannya jika keluar rumah. Dia pikir dengan keluar rumah bisa menghilangkan kegundahan dalam hatinya, bukan rasa damai yang diperolehnya tetapi omongan orang yang menyakiti hatinya. Luka yang belum kering itu kembali menganga.

Dia bangkit dan berlari sambil menutup telinganya yang seolah-olang berdengung. Tatapan mereka yang jijik melihatnya sangat mengguncang jiwanya lagi.

Bu Erni mengejar Nira yang sudah terlebih dahulu berlari.

“Mbak Nira, tunggu!” panggilnya. Namun Nira tak menoleh apa lagi berhenti berlari. Hatinya terlanjur  sakit. Dia telah berusaha untuk mengumpulkan serpihan demi serpihan hatinya, namun kini ambyar lagi setelah mendengar pergunjingan mereka.

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang