Semenjak sore itu, Andrian sering menghampiri Nira. Sebisa mungkin untuk menghibur agar Nira bisa melupakan pengalaman yang membuatnya terjatuh dalam jurang yang gelap. Butuh waktu untuk bisa membangkitkan kembali semangat hidupnya. Dia merasa menjadi wanita tak sempurna lagi setelah para pemuda yang menganiaya Wahyu mencabik-cabik kehidupannya. Merenggut paksa mimpi yang tengah mereka bangun, mimpi untuk menjalani hidup sebagai suami istri. Impian yang baru saja mereka lukis di batas bibir pantai.
Andrian dengan setia selalu memberi semangat kepadanya. Dia rela untuk menunda kepulangannya. Untunglah pihak kantor memberikan kelonggaran pada dirinya. Dia memanfaatkan waktu yang hanya seminggu untuk dapat membasuh luka Nira. Dia juga berjanji pada ibunya Nira, meski kelak dia kembali ke rutinitasnya, akan terus menghubungi Nira dan mengajaknya bicara meski hanya lewat telepon. Itu pun sudah sangat membahagiakan ibunya Nira.
Perlahan Nira sudah mulai menerima takdirnya. Meski dia masih belum berani keluar rumah, setidaknya dia sudah mau untuk duduk di teras rumahnya. Andrian dengan setia selalu menemaninya.
Sore itu, saat semburat jingga mulai memeluk malam, Andrian dan Nira duduk di teras rumah Nira.
“An,Wahyu telah tiada. Aku belum bisa menerima kenyataan itu sepenuhnya. Rasanya setiap malam dia selalu datang dalam tidurku.”
“Nira. Kamu harus mengiklaskan kepergiannya. Kematian adalah satu perkara yang pasti akan menjemput manusia. Tak seorang pun dapat mengelak darinya. Walau di mana pun, pasti maut menjemputnya. Ketika tiba saatnya malaikat maut menjemput, tak ada seorang pun yang bisa menangguhkannya. Kau harus menyadari itu semua, Nira. Jangan kau terus larut dalam kesedihan. Aku yakin, Wahyu akan sedih jika melihat kau seperti ini.”
“Kau bisa berkata seperti itu, karena kau tak merasakan sendiri. Tapi aku, aku …!” Embun itu menetes lagi dari netranya.
Andrian merengkuh kepala yang lemah itu dalam pelukannya. Dibiarkan Nira menangis di dadanya.
Sambil membelai lembut rambutnya, dia pun memberi motivasi pada Nira.
“Percayalah kepada Allah. Dia tak akan memberi ujian atau pun cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya. Jadi yakinlah kamu mampu melewati ini semua. Dan … aku akan selalu menemanimu dalam setiap langkahmu!”Nira mengangkat kepalanya, menatap jauh ke dalam hitam mata elangnya Andrian. Andrian terdiam dan menelan salivanya. Begitu selalu saat dia dekat dengan Nira, rasa ingin melindungi selalu hadir tanpa pernah berani dia ungkapkan rasa yang tersimpan jauh dalam palung hatinya.
“Nira, esok lusa akku harus kembali kerja. Aku harap kau bisa menjadi Nira yang aku kenal dulu. Nira yang ceria dan tak pernah putus asa. Percayalah, masih ada orang yang menerimamu apa adanya,” kata Andrian sambil berdebar-debar. Dalam hati dia ingin mengutarakan suara hatinya yang selama ini dia pendam. Namun dia takut, mungkin ini belum waktu yang tepat untuk disampaikan ke Nira.
“Ah, kau hanya menghiburku saja, An. Tak mungkin ada seorang laki-lakipun yang akan mau denganku. Kalau mereka tahu apa yang terjadi dan menimpaku.” Nira berkata sambil menerawang jauh di angkasa.
“Jangan pesimis, yakinlah bahwa Allah telah memberikan jodoh pada setiap umatnya. Cuman belum saatnya saja Allah membukakan hatimu itu!” seru Andrian. Padahal dalam hatinya dia berkata, “Akulah lelaki yang akan menerimamu apa adanya, Nira.” Namun kata-kata itu hanya terdengar dalam hatinya saja.
“Terimakasih, An. Selama ini kau selalu menyemangatiku. Semoga aku kuat menjalani hidupku. Pergilah, aku tak akan menghalangi kau pergi. Semoga kau tak ingkar janji untuk selalu menjadi sahabatku!” serunya sambil menepuk punggung tangan Andrian.
*
Sebulan sudah berlalu, Andrian hanya bisa menghibur Nira lewat telepon. Setiap pulang kerja, selalu disempatkan untuk menanyakan kabar Nira. Kabar apakah dia sudah makan atau belum, seharian melakukan kegiatan apa saja, yang jelas apa saja menjadi bahan pembicaraan mereka. Lambat laun suasana persahabatan mereka lebih akrab. Nira tak canggung lagi bercerita tentang dirinya. Terkadang bercerita tentang masa-masa SMAnya. Membuat hati Andrian terkadang berdenyut nyeri, karena yang diceritakan selalu dan selalu tentang Wahyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
Ficción GeneralNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...