Sinar mentari menerobos sela-sela dedaunan. Suara burung pun menambah keindahan di pagi hari ini. Langit biru membentang tampak cerah. Namun, tak begitu dengan suasana hati seorang gadis yang kini tengah tergolek lemah di atas pembaringan.
Bu Zainab, ibunya Nira sudah bersiap untuk pergi ke pasar, begitu menengok anaknya ke dalam kamar dan mendapatinya dia tergolek di atas tempat tidur, timbulah rasa ibanya. Perlahan dibelai lembut rambutnya. Nira menatap sendu ke arah ibunya. Tampak garis hitam di bawah matanya. Wajahnya yang putih bertambah kian pucat. Apalagi belum ada makanan yang masuk sejak tadi pagi. Apa yang dia makan selalu keluar.
“Nak, ibu mau ke pasar. Bahan makanan di rumah sudah habis. Ayahmu sudah berangkat dari tadi. Kau tak apa-apa kalau ibu tingal, kan?”
“Pergilah, Bu. Nira insyaallah akan baik-baik saja,” jawabnya sambil menggeser tubuhnya. Dia ambil minyak angin aroma terapi dan menggosok di bawah hidungnya. Aroma kesegaran menguar ke dalam rongga penciumannya. Dia hirup dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Dicobanya untuk tersenyum, agar ibunya tidak merisaukan dirinya.
“Kalau kau mau makan, sudah ibu siapkan di meja ya. Kau harus paksakan untuk makan. Ingat, kini kau tak sendiri lagi. Ada kehidupan lain dalam tubuhmu, meskipun kau tak menginginkannya. Namun, jangan pernah berpikir sedikit pun untuk menolak takdir Allah, ya … Nak!” pesan bu Zainab sambil berdiri, mencium kening Nira lembut. Dia bergegas keluar dan menutup pintu kamar Nira lembut.
Dua hari lagi, keluarga Andrian akan datang dan mereka akan melangsungkan pernikahan. Semakin mendekati hari itu, pikiran Nira semakin tak karuan. Dia ragu apakah sanggup melalui semua ini. Dia tahu betul bagaimana Andrian mengasihi dirinya. Hal itulah yang membuat hatinya resah, dia tak sampai hati menyeret Andrian ke dalam lingkaran hitam yang menimpanya.
Dia malu dengan gunjingan tetangga, yang menganggap dirinya gadis tak tahu malu. Sudah ternoda tapi mau menerima lamaran Andrian. Suara-suara itu terus saja mendengung di sekitar telinganya seperti suara lebah. Makin lama suara itu makin menjadi-jadi. Dia menutupi telinganya, tapi masih saja suara itu mengganggu dirinya.
Buat dirinya, omongan mereka di luar sana lebih berat jika dibandingkan dengan tamparan demi tamparan yang pernah dia rasakan dahulu. Omongan ini langsung menusuk hatinya. Luka akibat trauma pelecehan itu belum kering benar, malah mereka tambah dengan gunjingan dan cibiran. Siapa sih yang mau mengalami hal seperti ini. Tak ada, tak terkecuali Nira.
Nira bangun dari tidurnya, lalu menuju dapur. Rasa lapar menuntunnya untuk mengambil makanan. Dia menyendok nasi ke dalam piring dan mengambil sayur lengkap dengan lauknya. Baru beberapa suap, lambungnya serasa diaduk-aduk. Dia langsung menuju kamar mandi. Seluruh isi perutnya keluar semua. Dia berpegangan pada daun pintu kamar mandi untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Setelah agak terasa nyaman, dia berjalan tertatih menuju meja makan lagi. Nafsu makannya kembali menghilang, padahal nasi yang ada di piring masih tersisa banyak.
Kepalanya mendadak menjadi pusing dan matanya berkunang-kunang. Dia akhhirnya jatuh tak sadarkan diri.
***
Sementara itu, bu Zainab perasaannya merasa tak enak. Hatinya was-was meninggalkan Nira sendirian di rumah. Kondisi tubuhnya sedang tak sehat. Dia cepat-cepat mengambil belanjaannya. Namun, hatinya masih saja gelisah. Akhirnya dia mencoba menghubungi Andrian. Harapannya Andrian sudah berada di rumah, mengambil cuti dari kantornya.
[“Assalamualaikum,Nak Andrian posisi di mana?”]
[“Waalaikum salam, saya masih di kantor, Bu. Ni lagi beresin berkas-berkas karena besok saya ijin. Jadi pekerjaan saya bereskan semua hari ini. Ada apa ya, Bu?”]
[“Tak ada apa-apa, Nak. Hanya sekadar mastiin saja. Sehat kan, Nak?”]
[“Alhamdulillah, Bu. Saya sehat. Ibu dan Nira sehat juga, kan?”]
Bu Zainab terdiam sesaat. Menghela napas panjang, lalu mencoba untuk menjawab biasa.
[“Alhamdulilla, Ibu baik. Nira ada di rumah, Nak. Ibu sedang belanja di Pasar. Ya, sudah. Kita sambung lagi nanti, ya. Ibu masih banyak yang akan di beli!”]
Percakapan itu pun terputus. Bu Zainab bergegas untuk membeli semua kebutuhan untuk dua hari sekalian. Setelah itu dia bergegas kembali, karena pikirannya ke Nira terus.
‘Ya Allah, semoga Nira tak terjadi apa-apa!’ gumamnya dalam hati.
***
Sesampainya di rumah, segera diparkirkannya sepeda motor dan dia bergegas masuk rumah. Belanjaannya dibiarkannya di atas motor.“Nira … Nira!” panggil bu Zainab. Hening, tak ada jawaban. Dia bergegas menuju kamar Nira, dengan harapan dia tertidur di kamarnya. Dia pun terkejut, karena kamar Nira kosong.
“Nira … Nira, di mana kamu, Nak?” seru bu Zainab sambil matanya menyapu setiap sudut rumah, langkah kakinya menuntunnya ke dapur. Alangkah terkejutnya dia, saat mengetahui Nira tergeletak di lantai. Wajahnya pucat dan tubuhnya sudah dingin.
Segera dia berlari ke halaman, tujuannya menuju rumah tetangganya. Pak Arman. Dengan tergesa-gesa dia mengetuk pintu rumah pak Arman.
“Pak, saya minta tolong. Nira pingsan di rumah. Tolong antar kami ke Rumah Sakit segera, ya!”
“Baik, Bu. Saya ganti celana sebentar. Saya langsung ke sana!” jawabnya sambil berlari masuk ke dalam kamar. Istrinya langsung keluar menemui bu Zainab.
“Ada apa Bu?” tanya bu Arman mendekati bu Zainab.
“Nira, Nira pingsan, Bu. Saya minta tolong pak Arman mengantar kami ke Rumah Sakit.”
“Baiklah,Bu. Ibu pulang dulu, biar kami segera ke rumah Ibu, ya!” Bu Zainap mengangguk dan berlari pulang ke rumahnya.
Tak lama kemudian pak Arman dan istrinya tiba di rumah Nira. Dengan bantuan mereka, tubuh Nira pun diangkat ke dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
Fiksi UmumNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...