2. Takdir Yang Tak Dirindukan

9 4 0
                                    


Nira melihat ke sekeliling, nampak ruangan serba putih dan bau obat tercium memenuhi rongga hidungnya. Perlahan dia mengerjapkan matanya. Rasa nyeri pada tulang-tulang membuat badannya terasa sakit semua. Dicobanya mengumpulkan sisa-sisa ingatan yang telah menimpanya.

Ingatannya satu persatu hadir bagaikan slide dalam benaknya. Terakhir kali dia melihat empat orang tak dikenal menghajar Wahyu tanpa ampun. Bau anyir darah membuat asam lambungnya naik, meski tak begitu jelas warna darah itu. Tapi dia tahu, Wahyu berlumuran darah. Pemuda berandalan itu telah menghajar Wahyu tanpa kenal ampun. Wahyu yang sudah tidak berdaya  itu terus saja dipukul, ditendang dan menjadi bulan-bulanan pemuda tak dikenal tersebut.

Tubuhnya semakin lemah, dia menangis. Namun para pemuda itu malah tertawa seolah mendapatkan mainan. Wahyu tersungkur bersimbah darah, namun desah napasnya masih  dia dengar. Dia mengerang kesakitan. Dua pemuda lainnya mendatangi Nira, tangan Nira dipegang erat salah satu pemuda itu.

“Kau telah membuat Wahyu jatuh hati padamu. Kau layak menerima ini!” kata salah satu pemuda yang paling kekar sambil menampar kedua pipi Nira kasar.

Wahyu berteriak meski lemah, “Jangan kau sakiti dia!” disambut tertawa dari mereka. “Tolong, jangan sakiti dia. Dia tak tahu apa-apa. Tolong biarkan dia pergi!” serunya lirih sambil menahan rasa sakit, saat punggungnya diinjak oleh salah satu dari mereka.

“Hahaha, apa kau bisa menolongnya. Tolong gadismu itu!” Wahyu mencoba beringsut, namun tubuhnya yang penuh luka membuat dia tak dapat bangkit. Air matanya menetes melihat keempat pemuda itu berbuat nekat pada Nira. Nira yang lemah tak dapat melawan. Semakin dia melawannya semakin sadis mereka memperlakukan Nira.

Lambat laun kesadarannya menurun, entah apa yang diciumkan padanya. Namun telinganya masih bisa menangkap pembicaraan mereka meski samar-samar. Hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Semesta menjadi gelap,dan ia pun jatuh dalam pekatnya senja yang merangkak dalam kelam.

*

“Ibu, di mana Wahyu?” tanyanya pada ibu yang sejak dari kemarin menungguinya.  Ibu Nira merasa sedih melihat kondisi putrinya yang sangat mengenaskan. Dia bersyukur, mereka tak menghabisi nyawa Nira. Namun melihat kodisi Nira yang seperti itu, membuat hatinya menangis. Namun dikuatkannya, agar Nira tak patah semangat. Dia tak kuasa bercerita tentang hasil diagnosa dokter yang disampaikannya tadi pagi.

“Bu, bagaimana kondisi Wahyu?” tanyanya mengharap sambil menahan perih di wajahnya. Ada lebam di pipi Nira akibat pukulan dan tamparan dari para pemuda yang mengeroyok Wahyu sore itu.

“Kau istirahat dulu, Nira. Jangan kau pikirkan Wahyu, ya!” pinta ibunya lembut sambil membelai rambut Nira.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan, masuklah dua orang polisi wanita mendatangi ibunya. Mereka berbisik-bisik, Nira mencoba mempertajam pendengarannya,agar dapat menguping pembicaraan mereka.

“Bagaimana, Mbak. Apa sudah ada titik terang, siapa pelakunya?” tanya ibunya Nira.

“Sampai saat ini belum ada, Bu. Mohon Ibu untuk bersabar. Kami akan membantu menguak siapa pelakunya. Nampaknya mereka sudah lihai, tak ada sidik jari yang tertinggal di sana. Ibu bantu kami dengan doa ya, semoga kasus ini segera terpecahkan,” kata Briptu Alia.

“Iya, Mbak. Tolong temukan mereka dan beri hukuman yang seberat-beratnya. Saya tak rela anak saya mereka hancurkan masa depannya!” ujarnya lirih meredam amarahnya.

“Insyaallah, Bu.” Briptu Alia memberi hormat pada ibunya Nira, kemudian berbalik meninggalkan mereka.

“Tunggu, Mbak!” teriak Nira. Briptu Alia berhenti dan membalikkan badan, “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya sambil berjalan mendekati tempat tidur Nira.

“Mbak, bagaimana keadaan teman saya, Wahyu. Tak ada yang mau menjawab pertanyaan saya dari tadi?” tanyanya penuh harap.

“Maaf, Mbak. Mbak harus mengiklaskannya. Wahyu tak bisa ditolong. Tadi pagi dia telah dimakamkan.” Nira menutup mukanya lalu menjerit histeris.

“Tidak, Wahyu ... huhuhuhu ...!” teriaknya sambil menangis. Ibu memeluknya. Air mata jatuh berderai membasahi jilbab ibunya.

“Sabar ya, Nduk. Hidup dan mati hanya Allah yang tahu. Kau harus mengikhlaskan kepergiannya!” serunya lirih.

Nira kalab, dicabutnya jarum infus yang menancap di tangan. Kemudian dia melompat turun dari tempat tidur. Ibunya kewalahan memegangi Nira yang entah dari mana kekuatan tiba-tiba diperolehnya. Untunglah Briptu Alia masih belum keluar, sehingga dia dapat membantu memegangi Nira.

“Untuk apa saya hidup, Bu. Biarkan saya menyusul Wahyu!” teriaknya sambil menangis. Diambilnya jarum infus yang tergeletak di tempat tidurnya. Diacungkan jarum infus itu ke arah nadinya, hanya satu keinginannya, melukai dirinya sendiri. Namun hal itu bisa dicegah oleh suster yang baru saja datang. Suster itu menyuntik Nira dengan obat penenang, lambat laun dia terkulai. Dengan dibantu Briptu Alia dan suster Wanda, tubuh Nira diangkat dan diletakkan di pembaringan. Tak lama kemudian Nira pun tertidur.

*

Air mata Nira makin menetes, setiap dia mengingat kejadian itu, hatinya menangis. Semua mimpi indahnya yang baru mereka rencanakan, menguap begitu saja dihempas tragedi sore itu.

Sebening Embun di Netra NiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang