Nira berlari menerobos senja yang makin temaram, meski tak mampu mengenyahkan bisikan-bisikan di telinganya.
Sesampainya di rumah, dia langsung menuju kamar. Matanya sembab karena menangis sepanjang perjalanan pulang dari taman. Tak dihiraukan pandangan sang ibu yang melihatnya dengan hati bertanya-tanya. Lalu didekatinya putrinya yang tiba-tiba bersikap seperti semula.
“Nira, kenapa kamu, Nak?” tanya ibunya begitu melihat Nira yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar sambil menangis. Tak ada jawaban dari dalam, hanya suara isak tangis yang terdengar pilu.
Ibunya Nira terus mengetuk pintu kamar anaknya itu. Namun, Nira tak beranjak dari tempat tidurnya. Isakan tangisnya masih terdengar di antara suara azan magrib yang terdengar dari musala dekat rumahnya.
“Nira. Buka pintunya dong, Nak. Biar ibu bisa masuk. Ceritakan apa yang terjadi pada ibu, Nak!”
Nira yang berda di dalam kamar, memandang wajahnya di dalam cermin. Suara azan itu menyadarkan dirinya yang terlalu rapuh. Diusap air matanya yang membasahi pipi yang terlihat pucat. Dihirupnya udara dalam-dalam, lalu dia bangkit dan membuka pintu.
“Kenapa lagi, Nira? Kenapa kau menangis?” tanya ibunya sambil memeluk Nira, membelai lembut rambut Nira.
Nira menatap ibunya, kemudian menggelengkan kepalanya. Ada rasa iba yang Nira rasakan saat melihat wajah ibunya, dia tak ingin sebenarnya membuat hati ibunya resah.
“Tak ada apa-apa, Bu. Nira hanya teringat peristiwa itu kembali. Nira mau salat dulu, Bu!” jawab Nira sambil melangkah ke kamar mandi.
“Serahkan semua masalah hanya pada Allah, Nak. Insyaallah kau mampu melewati semua. Jangan pernah ragu, jika ada masalah apa pun, kau bisa bicara sama ibu!” ujar ibunya. Nira pun mengangguk dan mencoba untuk tersenyum.
***
Nira diam terpaku di depan meja, matanya terpaku pada tumpukan buku-buku semasa SMA yang masih tertata rapi di rak buku dekat jendela. Dia bangkit dan berjalan menuju rak tersebut. Diambilnya buku tulis matematika, dibukanya lembar demi lembar. Dia pun tersenyum saat melihat di antara halaman buku itu terdapat lukisan benang kusut, saat dirinya tak dapat mengerjakan salah satu tugas dari gurunya.
Ingatannya pun melayang pada masa itu.
Langit pagi ini masih tertutup awan, udara berembus menerobos sela-sela ventilasi udara. Nira masih bermalas-malasan di atas pembaringannya. Dirinya memang sedang halangan sehingga tidak melaksanakan salat subuh. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.20. Bunyi alarm dari jam bekernya sudah berdering tiga kali, tapi mata Nira masih saja menutup.
“Nira, bangun!” teriak ibunya dari dapur, “Sudah hampir setengah tujuh. Nanti kamu terlambat!” seru ibunya lagi. Nira langsung melompat, melihat jam dinding sekilas. Diambilnya handuk yang menggantung di balik pintu, langsung masuk kamar mandi. Terdengar suara air beradu dengan lantai.
Sambil berlari, dia menuju dapur. Diambilnya tempe goreng dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Dikunyah cepat-cepat, kemudian disambarnya gelas berisi susu segar, langsung dia minum. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nira.
“Kau tak sarapan, Nir?” tanya ibu sambil menyorongkan kotak bekal makan untuk Nira.
“Tak sempat, Bu. Nanti Nira terlambat. Nira berangkat dulu ya Bu, Assalamualaikum!” seru Nira sambil mencium tangan ibunya. Ayahnya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Menghindari kemacetan lalu lintas.
Dipacunya kendaraan roda dua itu dengan kelajuan 80 km/jam. Suara deru knalpot menggema membelah jalanan yang sudah ramai dengan kendaraan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
Ficção GeralNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...