Aluna masih bertanya-tanya penyebab Arga ketempelan. Apa yang terjadi? Ini bukan pertama kalinya ia melihat hal semacam itu. Kemudian pertanyaan kedua, siapa perempuan di toilet? Rasanya kepala Aluna mendadak pusing memikirkan hal-hal yang tak masuk akal bagi kebanyakan orang.
Di balkon, Aluna masih menikmati suasana mencekam seperti ini. Kelopak matanya perlahan menutup seiring oksigen yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Tenggorokannya mendadak kelu, ia butuh air. Di rumah yang sebesar ini pun Aluna hanyalah sendiri, bahkan pembantu yang bekerja ikut berlari saking takutnya.
Gadis itu kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil air. Saking sunyinya, suara langkah kaki pun terdengar jelas hingga ia sampai di depan kulkas. Sebotol air dingin Aluna ambil kemudian beberapa kali meneguknya hingga dahaga gadis itu hilang.
Drttt ... drttt ...
Suara dering handphone mengalihkan fokus Aluna.
[Buka pintunya]
Buka pintu? Aluna mengernyit kala membaca pesan itu. Ia berjalan secepat kaki membawanya lalu berhenti tepat di pintu utama. Aluna meneguk salivanya susah payah. Mulutnya terkatup rapat, tak tahu mau berkata apa. Jantungnya berdegup kencang dan air matanya perlahan bermuara di pipi ketika membuka pintu.
"Kak Sean!" Aluna melompat memeluk pria bernama Sean yang ia temui di depan pintu. Sementara yang dipeluk malah terkekeh dengan banyak kali mengacak rambut Aluna.
"Anak kecil, kamu sudah besar ternyata." Sean masuk dan duduk di sofa, menghiraukan Aluna yang masih di ambang pintu.
"Kak Sean, kok baru datang? Apa Kakak lupa sama Aluna?" Aluna ikut duduk di samping Sean. Tangannya dilipat di depan dada dengan bibir yang mengerucut.
"Kakak banyak kerjaan di luar kota."
"Owhh ... baiklah." Aluna menyenderkan tubuhnya di badan sofa. Masih memalingkan wajah dari Sean.
"Soal mama dan papa ... mereka tidak datang sebab--"
"Sudahlah, Kak Sean. Mereka tidak mau bertemu dengan orang gila seperti Aluna."
Sean memandangi Aluna dengan sorot mata tajam. "Dengarkan kakak! Mama sama papa hanya belum mengerti yang sebenarnya."
"Sudahlah, Aluna tidak mau membicarakan mereka."
Sean mengangguk mengerti. Kedua kakak-beradik itu telah lama tak bertemu, mungkin kisaran 6 bulan yang lalu. Jadi wajar saja Aluna sangat rindu, bahkan tingkahnya akan sedikit manja kepada Sean.
***
Sudah pukul 10.30 dengan suasana yang semakin larut malam. Lampu rumah besar yang dihuni Aluna berkedip-kedip kemudian perlahan mati. Semilir angin masuk melewati jendela dengan gorden yang mengibar-ngibar. Aluna mulai berkeringat, tangannya memeluk erat lengan Sean. Ia benci kegelapan!
"Tunggu di sini Aluna, biar kakak cek lampunya dulu," pinta Sean dengan menyalakan senter handphone-nya.
Aluna mengangguk, ia sungguh kesulitan bernapas. Setelah beberapa waktu Sean belum juga kembali dan menambah kekhawatiran Aluna. Gadis itu memainkan jarinya guna mengusir kecemasan.
"Kak Sean?" Dalam keheningan dan kegelapan, suara Aluna menggema di rumah besar itu.
"Kak Sean di mana? Jangan nakutin Aluna dong!" Pandangan Aluna masih menelisik dalam kegelapan.
"KAK SEAN!" panggil Aluna lantang, tetapi Sean belum menjawab.
Aluna menarik napas sedalam mungkin, entah Sean ada di mana. Tanpa pencahayaan apapun Aluna berjalan menuju dapur, menyusuri dinding-dinding yang akan menuntunnya dalam kegelapan mencekam ini.
"Kak Sean?" panggil Aluna pelan. "Kak Sean masih ada di gudang, 'kan?"
Derap langkah kaki perlahan berjalan mendekati punggung Aluna. Secara otomatis Aluna berbalik, ia yakin itu pasti Sean yang lagi-lagi berniat menjahilinya.
"Kak Sean! Aluna kan bilang gak suka ditakutin!" teriak Aluna. Namun, nyatanya nihil. Sean tidak ada di sana. Hanya kegelapan yang kosong melompong.
Aluna sempat cemas dan khawatir, tangannya dingin dan gemetar. Kemudian Aluna bernapas lega ketika mendapati Sean yang duduk di kursi meja makan. Sangat menyebalkan! Apakah pria itu pura-pura tuli?
"Kak Sean kemana aja? Aluna panggil nggak dengar-dengar."
"Kak Sean, dengar nggak, sih?" panggil Aluna lagi. "Heyoo ... Kak Sean!"
Aluna mengerjap kaget saat Sean berdiri dan menghampirinya dengan cepat, kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Aluna. Tatapan Sean dan Aluna beberapa saat terkunci, lalu perlahan Sean mengelus wajah cantik sang adik. Sontak Aluna mendorong Sean ketika bibir sang kakak nyaris menyentuh bibirnya.
"Kak Sean! Apa yang kakak lakukan?!" pekik Aluna yang sedikit ketakutan dengan tingkah Sean.
Tiba-tiba napas Aluna memburu, Sean yang ia sangka Sean ternyata bukanlah Sean. Sudah Aluna duga ketika darah mengalir dari hidungnya. Aluna menatap hantu itu tanpa berkutik. Tiba-tiba ada darah di lantai yang mengalir dari mulutnya. Wajahnya benar-benar hancur dengan banyak belatung di sana. Lensa matanya sangat kecil, hingga nyaris terlihat putih semua. Bukankah dia ....
Bibir Aluna seakan terkunci, tak bisa berteriak apalagi memanggil Sean kembali. Jantungnya memburu hebat seiring dengan keringat yang mengucur di pelipisnya. "Kumohon ... pergilah," lirih Aluna.
Aluna menutup matanya berharap hantu itu segera hilang, mundur perlahan hingga ia terhenti karena dinding. Suara tetesan darah masih terdengar seperti sisa air hujan yang jatuh dari genteng.
Aluna membuka matanya perlahan, jantungnya seperti bermarathon ketika mendapati hantu itu melentingkan badan dengan bertumpu pada kedua telapak tangan dan kaki hingga menyerupai busur. Aluna berjongkok kemudian menenggelamkan kepala dalam ringkukannya. Punggungnya mulai gemetar, ia sangat berharap lampu segera menyala dan Sean akan kembali.
***
"Aluna!" panggil Sean mendapati adiknya yang tergeletak di lantai. "Hey, Anak Kecil, bangunlah!" Sean masih menepuk-nepuk pipi Aluna dengan raut wajah khawatir, hingga ia mengernyit ketika Aluna membuka mata dan malah tertawa.
"Kak Sean mukanya jelek kalau lagi khawatir." Aluna bangkit dan masih tertawa. Sangat lepas hingga membuat Sean menyunggingkan senyum yang tidak akan dilihat siapa pun.
Wajah Sean berubah datar. "Apa yang terjadi?"
Aluna terkekeh pelan. "Aluna hanya tertidur tadi. Siapa suruh kak Sean kelamaan. Kemana saja?"
"Tadi kakak kebelet, jadi ke toilet dulu. Mau ngasih tau kamu, tapi udah nggak tahan." Sean menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Baiklah. Apa kakak tahu? Aluna tadi lihat sesuatu. Sempat ketakutan, makanya tertidur."
"Alah ... gitu aja takut," ejek Sean, berjalan menuju ruang depan untuk mengambil barang-barang yang tertinggal.
"Emangnya kak Sean gak takut?"
"Nggak."
Aluna menghembuskan napas jenuh, lalu tiba-tiba sebuah ide jahil melintas di otaknya.
"Hantu ... menjauhlah! Jangan ganggu kak Sean!" teriak Aluna.
Lantas Sean berbalik dan menghampiri Aluna dengan cepat. Perlahan bibirnya memucat, bahkan tangan dingin kekar itu menjadi gemetar. "Aluna, hantunya di mana?" sarkas Sean.
Aluna menahan tawanya hingga pecah. "Hahaha, ternyata kak Sean penakut, hahaha."
Sean memasang tampang kesal, ia menatap Aluna sekilas kemudian mengacak rambut gadis itu. Dengan segala niat yang sudah terkumpulkan, Sean beralih menggelitiki perut Aluna hingga gadis itu tertawa sekaligus kesakitan. Sangat manis untuk sepasang kakak-beradik.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold (END)
HorrorAluna Agneta Danendra, kerap disapa dengan sebutan Aluna, gadis unik dengan kemampuan indra keenamnya. Aluna tidak begitu mahir dalam mengendalikan serta memainkan kemampuannya. Hal itu seringkali membuatnya dicap sebagai monster atau gadis gila. Or...