BAB 6

882 90 22
                                        

"Lepasin, Ga!" gerutu Aluna. Kemudian Arga menurunkan tangannya, tetapi masih memegang pinggul gadis itu.

"Diam dulu. Aku juga bukan anak nakal yang bakal ngambil kesempatan dalam situasi ini." Arga celingak-celinguk melihat situasi di luar. Mungkin ia tidak sadar, Aluna sukses dibuat bergeming dengan perkataannya.

"Kenapa?" Tatapan Arga kembali pada Aluna.

Aluna mengernyit dengan menatap laki-laki itu secara intens. "Lalu, apakah kita harus seperti ini?"

"Jangan banyak berbicara. Jadilah gadis yang penurut untuk saat ini. Jika kamu menuduhku yang tidak-tidak, aku akan melakukannya sungguhan."

Aluna membulatkan mata. Ia kembali melepaskan tangan Arga, tetapi laki-laki itu malah memperkuatnya. "Lepasin! Pokoknya jauh-jauh dariku."

"Sensi amat. Aku juga nggak bakal senekat itu. Aku masih polos," kata Arga sesaat setelah melepaskan Aluna. Entah mengapa perkataannya malah membuat Aluna enek.

"Bagaimana keadaan di luar?" tanya Aluna sesaat setelah perdebatan singkat itu.

"Aman. Pak Prapto dan Pak Sucipto sudah pergi. Ngomong-ngomong ... kamu dapat sesuatu?"

Aluna diam sejenak, kemudian ia teringat akan sesuatu yang sempat ia potret sebelum bersembunyi di dalam gedung. Di luar gedung, Pak Prapto dan Pak Sucipto nampak membicarakan suatu hal yang serius. Bahkan sepengetahuan Aluna ... sepertinya Pak Sucipto sedang berterimakasih saat itu.

Aluna mengeluarkan handphone dari saku roknya kemudian memperlihatkan kepada Arga. Laki-laki itu sempat tak mengerti apa yang terjadi, karena dasarnya ia hanya ikut-ikutan. "Apakah Pak Prapto dan Pak Sucipto bekerja sama?" katanya kemudian.

"Bisa jadi. Tapi ... kita belum punya bukti yang kuat. Bisa saja Pak Sucipto hanya meminta tolong kepada Pak Prapto, sebab ia yang mengurung arwah Cindy sebelumnya."

"Jadi ... tersangka pertama adalah Pak Sucipto?" tanya Arga sekenanya.

"Aku berpikir seperti itu."

"Lalu ... bagaimana dengan pak Prapto?"

"Soal Pak Prapto ... dia hanya penjaga sekolah. Lagipula ia sudah bekerja bertahun-tahun. Satu-satunya tokoh yang mengeluarkan petunjuk adalah Pak Sucipto."

"Bagaimana dengan guru lain?"

Aluna tak menjawab. Arga bahkan seperti anak kecil yang harus dijelaskan se-detail mungkin. "Kamu sebenarnya niat bantuin atau gimana?!" sarkas Aluna.

"Aku bantuin. Ikhlas demi kamu."

"Up to you."

Aluna berjalan beberapa langkah meninggalkan Arga. Sedari tadi ia berbicara serius, tetapi laki-laki itu malah bermain-main dengannya. Sukses membuatnya merasa kesal.

Arga dan Aluna keluar bersamaan setelah merasa situasi cukup aman. Langkah Aluna sempat terhenti, tetapi Arga tidak menyadarinya. Ia terus berjalan sampai menoleh dan tidak mendapati Aluna di sampingnya.

"Kenapa?" Arga mengangkat aslinya. Pasalnya Aluna nampak diam dengan memandang ke bawah.

Aluna masih terdiam, perlahan raut wajahnya berubah seiring bibir yang memucat. Arga menghampiri gadis itu, memegang pundak Aluna, menepuknya dengan pelan.

"Aluna ... Aluna ... Aluna, woy!"

Aluna terkejut, seakan roh yang baru saja balik ke raga. Bibirnya kembali pink dengan otak yang masih menerawang sesuatu. "Apa iya ... aku bisa melakukannya?" lirih Aluna.

"Kamu kenapa?" tanya Arga penasaran.

"Kamu percaya nggak, kalau aku bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar melihat atau berbicara dengan hantu?"

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang