BAB 7

846 86 6
                                    

Aluna berjalan menyusuri lorong rumah sakit setelah sekian lama. Cukup banyak bau anyir yang menusuk indra penciumannya, tetapi makhluk tak kasat mata sepertinya tidak ingin menampakkan diri mereka. Aluna masih berjalan dengan sesekali membaca slogan yang tertempel di dinding. Di sinilah gadis itu menyadari jika dirinya seorang Indigo. 2 tahun yang lalu, ketika Sean kecelakaan.

Langkah Aluna membawanya menuju sebuah ruangan gelap gulita yang jauh dari keramaian, mungkin saja tempat ini menyimpan barang-barang medis yang tak terpakai. Suara decitan di lantai menambah rasa penasaran Aluna. Perlahan Aluna mendekat ke pintu, ada suara di sana.

Aluna masih mendekatkan penglihatannya, beralih pada lobang kecil di bawah kenop pintu. Aluna benar-benar merinding, suara decitan itu masih terdengar, seperti kursi dan lantai. Gadis itu mengintip apa yang terjadi. Sosok kaki bergelantungan di kursi terlihat.

"Aluna!"

Aluna kaget saat berbalik, Sean sedang membawa dua kotak makanan sembari memperhatikan Aluna dengan bingung. Keringat dingin mengucur di pelipis Aluna. Aluna kembali mengintip dengan mantap, tidak ada apa-apa di sana.

"Kamu kenapa?" Sean menghampiri Aluna, bahkan ikut mengintip ketika sempat mendapati Aluna melihat ke dalam.

"Tidak apa-apa. Apa yang Kakak lakukan?" tanya Aluna, mencoba menepis hal yang baru saja ia lihat.

"Aku membawakanmu makanan, sejak pulang sekolah anak kecil kakak belum makan. Ayo ke taman, Anak Kecil."

Aluna terkekeh dengan sebutan anak kecil itu. "Kakak duluan saja, Aluna segera menyusul."

Sean mengangguk. Laki-laki dengan badan tegap itu berjalan mendahului Aluna menuju taman. Sementara Aluna masih memperhatikan lorong rumah sakit yang ia lalui. Hawanya sangat dingin hingga membuat Aluna merinding. Namun, tidak ada siapa pun di sana, kecuali seorang anak kecil yang duduk di kursi.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Aluna begitu menghampiri anak tersebut.

Anak itu menangis, banyak kali menggosok-gosok matanya yang dipenuhi air. "Ibu aku, Kak .... Ibu aku meninggal," lirihnya.

Jantung Aluna seakan tertekan, ia benar-benar tertampar oleh kenyataan tersebut. Entah kenapa, hatinya seketika terenyuh mendengar penuturan anak yang berusia sekitar 7 tahunan itu.

"Ibu kamu kok bisa meninggal? Apa yang terjadi?"

"Aku dan ibuku kecelakaan. Mobil kami masuk ke jurang."

Aluna mengernyit. Kecelakaan besar terjadi, tapi anak itu masih selamat? Sungguh keberuntungan yang luar biasa.

"Kamu seharusnya tidak di sini. Kamu harus dirawat. Ayo, kakak akan mengantarmu pada dokter."

"Aku tidak merasa sakit, Kak. Semua rasa sakitku sudah hilang," jawab anak itu dengan tersenyum.

"Aluna! Apa yang kamu lakukan? Kenapa lama sekali?" Sean kembali menemui Aluna. Kotak makan yang ia bawa sebelumnya masih diletakkan di kursi taman, berharap tidak ada yang mengambilnya.

"Sebentar, Kak. Aluna mau ngantar anak ini dulu."

"Anak yang mana?"

Aluna mengernyit, dengan cepat melihat anak kecil yang ia genggam tangannya tadi. "Ini, Kak ...." Ucapan Aluna terhenti seiring dengan anak itu yang menghilang dari pandangannya. "Tadi dia ada di sini, Kak. Akh ... mungkin dia sudah pergi saat kakak datang." Aluna ber-positive thinking.

Kemudian sebuah brankar melewati Aluna, sukses membuat gadis itu membulatkan mata. Bukan karena ada mayat di atasnya, melainkan sosok mayat itu yang membuatnya tercengang.

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang