BAB 11

734 71 10
                                        

Senja sudah memudar, tetapi Arga dan Aluna baru saja kembali. Laki-laki itu memarkirkan motornya di samping mobil Sean. Keduanya dikejutkan dengan Sean yang berdiri di depan pintu sembari menatap Arga tak suka.

"Lo kemanain adek gua, ha?" Sean berjalan mendekati Arga, melemparkan tatapan tajam kepada laki-laki itu.

Nyaris saja Sean mendaratkan sebuah pukulan di perut Arga, Aluna lebih dulu berdiri menghalangi. "Jangan, Kak! Ini bukan salah Arga, tadi Aluna yang minta Arga buat temenin."

Sean menarik kembali tangan kekarnya yang mengepal seraya memanggil Aluna masuk. Gadis tersebut berjalan mengikuti Sean, sedangkan Arga tetap di tempatnya. Selang beberapa waktu ketika Arga ingin kembali, suara Sean kembali menghentikannya.

Ketiganya masuk ke rumah secara bergantian. Pandangan Arga berkeliling melihat rumah Aluna yang cukup besar, tetapi dengan isian yang sedikit. Jantung Arga bermarathon saat Sean hendak memukulnya. Arga baru saja dilanda keringat dingin karena sikap Sean, tetapi keduanya kini duduk bersama sembari menonton televisi, sedangkan Aluna ke dapur untuk membuatkan minuman.

"Boleh bertanya sesuatu?" Sean membuka pembicaraan. Netranya masih fokus ke televisi tanpa menoleh ke arah Arga.

"Boleh, Kak."

"Kenapa lo sok baik sama Aluna?" tanya Sean sarkastis. Ia kini menoleh ka arah Arga sekilas.

"Aku nggak--"

"Jangan pake 'aku-kamu', gua bukan Aluna," potong Sean cepat.

Arga menarik napas ketika mengetahui jika Sean memiliki sifat dan cara yang berbanding terbalik dengan Aluna. "Gini, Kak. Gue bukannya mau berusaha ngedeketin Aluna. Gue hanya nggak tega lihat Aluna sendirian terus, gue ikut prihatin ketika Aluna di-bully sama murid di sekolah."

"Cih ... berarti lo peduli ke Aluna hanya karena rasa iba?"

Be locked! Sean membuat Arga membisu. Sejujurnya laki-laki itu sedikit tidak nyaman berada di samping Sean. "Nggak seperti itu. Gue ingin Aluna baik-baik saja itu bukan karena dasar rasa iba."

"Lalu?"

Tiba-tiba teriakan dan suara gelas pecah dari arah dapur mengejutkan Sean dan Arga. Keduanya bangkit dan segera melihat keadaan Aluna. Banyak pecahan gelas berserakan di lantai, sedangkan Aluna terduduk dengan tatapan nanar. Tangan kanan Aluna meneteskan banyak darah segar dari beberapa jarinya. Akh! Parahnya, satu pecahan kaca kecil masih tertancap di sana. Sean segera mengambil kotak P3K, membersihkan darah di tangan Aluna yang mulai berhenti mengalir. Kemudian Sean mencoba menyingkirkan pecahan kaca yang masih tertancap. Gadis itu tidak meringis, ia masih setia dengan tatapan nanarnya.

"Aluna!" Arga menepuk bahu Aluna beberapa kali, tapi gadis itu masih bergeming. "Aluna! Sadarlah!"

"Apa yang terjadi Kak Sean?" Arga bertanya kepada Sean yang kini masih menyelimutkan perban di tangan Aluna.

"Jangan banyak nanya lo! Minggir!" Sean mendorong Arga yang berjongkok hingga membuat laki-laki itu terduduk di lantai. Arga tetap diam, ia mencoba menahan amarah atas sikap Sean yang senonoh kepadanya. Jika bukan karena Aluna, mungkin Arga pun tak akan diam saja.

"Arga!" Tiba-tiba Aluna memanggil nama Arga, sontak membuat Sean dan Arga terheran-heran. "Aku tau, Ga! Aku tau caranya memecahkan masalah ini!" Aluna tanpa sadar memeluk Arga yang kini di samping kirinya. Sementara laki-laki itu mematung, membiarkan tangannya tidak menyentuh Aluna.

"Ma-maaf," lirih Aluna. Pipinya bersemu, gadis itu menutup matanya dengan telapak tangan agar tidak melihat ekspresi mengejutkan dari Arga dan Sean.

Arga sedikit canggung. "Ba-bagaimana cara memecahkan masalahnya, Aluna?" tanya Arga dengan maksud mengusir kecanggungan di antara mereka.

"Masalah apa? Lo ngasih masalah apa ke Aluna?!" Sean yang tidak tahu apa-apa kembali menuduh Arga.

Aluna menjelaskan semua kepada Sean agar laki-laki itu tidak lagi salah paham, termasuk Alasan dia pergi bersama Arga tadi. Sean yang tak percaya Aluna berbohong kembali mengusap wajahnya secara kasar. Aluna punya masalah, tapi Sean tidak mengetahuinya sama sekali.

"Lalu ... selanjutnya bagaimana?" tanya Sean kemudian.

Aluna berdiri, tak memedulikan tangannya yang masih kesakitan. Gadis tersebut mengambil gelang Cindy yang sempat ia simpan di atas meja kemudian mengangkatnya hingga sejajar dengan pandangan Arga dan Sean.

"Kita harus melakukannya lagi, Ga!" Aluna berkata dengan penuh keyakinan.

"Kalau gagal?"

"Kalaupun gagal ... kita akan mencoba cara lain," jawab Aluna, kemudian beranjak menuju ruang tengah tempat Arga dan Sean sebelumnya.

Aluna, Arga, dan Sean kini berada di ruangan yang sama. Ketiganya duduk bersila di lantai dengan lilin di tengah-tengah mereka. Lampu ruangan sengaja dimatikan agar tidak menganggu konsentrasi Aluna. Kondisi ruang tengah kini gelap gulita, dengan lilin temaram sebagai penerang tunggal.

Aluna menyerahkan kain berwarna hitam kepada Sean, menyuruh sang kakak untuk menutup mata gadis itu. Aluna kembali fokus seraya menarik dan menghembuskan napas secara berkala. Pikirannya masih menerawang ke segala petunjuk yang ia peroleh. Hingga sampailah Aluna pada portal cahaya yang sama seperti sebelumnya. Hanya ruang hampa bak monokrom yang ada, sangat sesak hingga Aluna mengucurkan keringat.

Semua kejadian yang Aluna lalui sama persis seperti sebelumnya. Mulai dari Cindy yang mengintip di pintu sembari merekam kajahatan sang pencuri, sampai pada Cindy yang bersembunyi di toilet, dan Pak Sucipto yang datang dari arah yang sama dengan si pencuri.

Aluna masih menyimak dengan baik rentetan kejadian tersebut. Pak Sucipto dengan gerak-gerik mencurigakan nampak tergesa-gesa. Ia berjalan menuju toilet yang ditempati Cindy kemudian berhenti sejenak di sana. Satu hal yang mengejutkan Aluna, bukannya masuk untuk memergoki Cindy, Pak Sucipto malah meletakkan sebuah handphone di depan pintu toilet kemudian berlari secepat mungkin meninggalkan area tersebut.

Derap langkah kaki dari arah yang sama kembali mengalihkan pandangan Aluna. Orang itu masih di sana dengan baju serba hitam, tak lupa pula topeng yang menutupi wajahnya agar tidak ada yang mengenali identitasnya. Lalu ... jika bukan Pak Sucipto ... siapa? Akh! Aluna tak habis pikir jika selama ini perkiraannya salah. Padahal, bukti-bukti jelas menunjukan bahwa Pak Sucipto pelakunya.

Pencuri bertopeng tersebut berhenti di depan toilet setelah melihat handphone tergeletak. Ia berkali-kali mendobrak pintu dengan paksa. Cindy sangat ketakutan, keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya. Ia terisak dengan membekap mulutnya sendiri agar tidak kedengaran.

Pintu nyaris terbuka, engsel-engsel mulai longgar dari tempatnya. Cindy merangkak menuju sebuah bilik yang terdapat dalam toilet, meringkuk pasrah akan kematiannya yang di depan mata.

Pada akhirnya si pencuri berhasil menerobos pertahanan sementara Cindy. Tangannya memegang pisau yang sangat mengilap saat terkena cahaya. Ia menyeringai mendapati Cindy yang tidak bisa kemana-mana. Pipi gadis itu dibanjiri air mata, tidak pernah terpikirkan jika ia akan mati dengan cara yang tragis.

Orang tersebut mendekat kepada Cindy, menancapkan pisau dengan kuat di perut gadis tersebut. Hingga Cindy meringis parah, darah mengalir keluar melalui mulutnya. Tidak sampai di situ, orang tersebut masih menyisakan goresan-goresan di wajah dan tubuh Cindy sebagai dasar pembunuhan tragis.

Pencuri tersebut menghilang, kemudian sekumpulan orang dengan Pak Prapto datang. Mereka menemuka Cindy dalam keadaan mengenaskan dipenuhi darah. Keesokan harinya berita kematian Cindy menyebar, hingga beberapa saat arwahnya tidak tenang. Demikian, Pak Prapto selaku penjaga sekolah turun tangan mengurung arwah Cindy di tempat kematiannya.

Aluna membuka mata seraya bernapas tersengal-sengal. Ia menoleh ke arah Arga, menggeleng pelan. "Ternyata pelakunya bukan Pak Sucipto," kata Aluna.

"Lalu siapa?" tanya Sean yang mulai mengerti.

Aluna mengehela napas sejenak, kembali menjelaskan peristiwa yang ia lihat. "Aku tidak tau siapa pelakunya, wajahnya tertutup," katanya kemudian. "Namun, aku punya satu bukti. Saat Cindy bersembunyi di dalam bilik toilet, ia sempat menyembunyikan handphone-nya pada bilah lantai yang bisa terbuka. Aku tidak tau apakah handphone itu masih berfungsi."

"Kita harus mencarinya besok," tambah Arga.



-----------------

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang