BAB 10

743 77 26
                                    

Aluna dan Arga meninggalkan rumah bu Sekar sesaat setelah guru itu mengizinkan Aluna untuk meminjam gelang Cindy. Aluna masih menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba penglihatannya terputus ketika kebenaran nyaris terungkap. Gadis itu masih memperhatikan gelang Cindy yang melingkar di pergelangan tangannya. Cara terbaik untuk mengungkapnya adalah dengan menggunakan cara sebelumnya.

"Emangnya gak apa-apa tuh kalau kamu pakai gelangnya Cindy?" tanya Arga yang masih mengendarai motor. "Kalau arwahnya nempel ke kamu ... gimana?"

Aluna terkekeh pelan. "Jangan mikirin aku, mikir aja makhluk yang nempelin kamu."

Arga mengerem motornya secara mendadak, sontak membuat Aluna sedikit lebih maju ke depan. "Kalau aku minta imbalan untuk hari ini, gimana?" Arga menyengir seraya mengangkat sebelah alisnya sambil menghadap ke Aluna.

"Lebih baik kita pulang," tolak Aluna.

"Kamu yang ngajak aku, maka dari itu harus ada imbalannya. Ada banyak waktu berharga yang aku lewatkan demi hal ini."

"Kalau gitu nggak usah ikut, aku juga nggak maksa."

"Tapi sudah terlanjur. Aku mau imbalan. Kalau tidak ... aku nggak bakal ngantar kamu pulang." Aluna menghembuskan napas dengan gusar. Arga selalu saja membuatnya tak bisa berkata-kata. Bukan hanya itu, laki-laki itu bahkan sering kali membuat jantung Aluna seakan bermarathon.

"Ya udah. Apa?"

"Nggak banyak. Kamu cuman harus nurutin aku."

"Ha?"

"Tenang. Aku nggak nekat."

Aluna memukul punggung Arga dengan tangannya. Laki-laki itu meringis parah karena kesakitan, padahal sebenarnya pukulan Aluna tidak sakit sama sekali.

Arga membawa Aluna keliling kota Jakarta. Membelah jalan ibu kota yang semakin ramai menjelang sore. Kemudian Arga menghentikan motornya di sebuah kedai pinggir jalan.

"Ngapain?" Aluna belum turun dari motor lantaran sedikit tidak nyaman berada di tempat itu. Terlebih saat sesosok makhluk tak kasat mata yang selalu mengikuti Arga kembali terlihat. Ada banyak darah yang membusuk di wajahnya. Sangat bau dan menyengat. Aroma tanah kuburan juga tercium dengan kuat. Selera makan Aluna benar-benar lenyap.

"Ayo turun! Kamu masih punya utang. Kalau nggak ... aku nggak bakal ngantar kamu pulang." Arga menarik tangan Aluna, mau tidak mau gadis itu harus turun. Ia merasa Arga telah menjadi rentenir dadakan yang memerasnya tampa ampun.

"Apa harus menggunakan ancaman yang seperti itu?"

"Pokoknya ayo!"

"Arga! Sebaiknya kita pulang deh. Aku ... aku nggak suka di sini," kata Aluna yang masih memperhatikan sosok di belakang Arga.

"Mungkin kamu nggak terbiasa di sini, Lun. Tapi aku jamin, makanan di sini gak kalah enaknya sama yang di restoran. Ini namanya seblak," kata Arga sembari menunjuk menu yang tersedia di sebuah etalase berukuran sedang.

"Iya ..., tapi ...." Arga segera menarik lengan Aluna, memaksa gadis itu untuk duduk di sebuah kursi kayu panjang.

"Bang! Seblaknya dua!"

Aluna memutar bola mata malas. Sungguh, ia merasa ingin muntah ketika sosok yang mengikuti Arga selalu meneteskan darah busuk di samping Aluna. Aluna meremas celana yang ia kenakan, tangannya berkeringat. Gadis itu telah menguatkan tekad agar lebih berani.

Tidak lama kemudian, dua porsi seblak datang di hadapan Arga dan Aluna. Laki-laki itu menyantapnya dengan nikmat. Sementara Aluna, ia masih melihat tanpa menyentuh makanannya. Nafas Aluna memburu ketika tetesan darah busuk dari hantu itu masuk ke makanannya. Aluna menjatuhkan sendok dari tangannya. Sontak hal itu membuat Arga menoleh. Gadis itu tak berkutik dengan masih menatap makanannya yang sama sekali tidak ada sesuatu yang aneh, menurut penglihatan Arga.

"Kamu kenapa?" tanya Arga, ia langsung ke inti. Kemudian menyeruput es teh di sampingnya.

"Sebaiknya kita hentiin makannya, Ga!"

"Kenapa? Seblaknya enak kok."

Aluna mual-mual. Hal itu sontak membuat Arga membelalakkan mata. "Lun, kamu kenapa? Aku nggak ngelakuin hal yang macam-macam loh selama sama kamu."

Aluna melemparkan tatapan tajam kepada Arga. "Kita pergi atau kita nggak usah ketemu lagi!" sarkas Aluna pada akhirnya. Arga menggaruk tengkuknya, menuruti kata-kata gadis itu. Arga segera membayar harga makanan kemudian kembali melajukan motornya.

"Kamu kenapa sih, Lun?" tanya Arga saat di atas motor. "Nggak baik kalau cewek cantik suka marah-marah."

"Enggak. Kita bisa pulang sekarang?"

"Masalah hantu lagi? Siapa? Cindy atau ... makhluk yang ngikutin aku?"

"Sebenarnya kenapa sosok itu selalu nempelin kamu, sih? Apa kamu pernah melakukan sesuatu yang tidak disengaja?" tanya Aluna.

"Emmm ... cie ... khawatir ya?" Arga terkekeh.

Lantaran suara Arga yang tidak jelas karena pengaruh di atas motor, Aluna tidak bisa mendengar dengan baik. Kemudian gadis itu menjawab 'iya', padahal sebenarnya ia mengira jika Arga sedang bertanya 'Apakah kamu melihatnya?'

"Tau, nggak? Aku punya satu tempat yang paling aku sukai," kata Arga.

"Lalu?"

Arga tidak menjawab, terus melajukan motornya kemudian berhenti di depan sebuah danau. Airnya masih sangat jernih tanpa pengunjung yang berkeliaran. Dedaunan seakan menari mengikuti hembusan angin dalam alunan senja. Arga menggenggam tangan Aluna, membawa gadis itu di bawah pohon yang rindang.

Arga berjalan ke pinggir danau, mengambil kerikil di sekitaran sana. Kemudian laki-laki itu melemparkan satu-persatu kerikil yang ia genggam sambil berteriak lantang.

"Aku mau pulang," kata Aluna.

"Tunggu dulu." Arga segera menuju ke arah Aluna. "Ambil kerikil ini, lempar ke danau."

"Gak guna."

"Jangan keras kepala, cepat lakukan. Lupakan dulu tentang Cindy, lupakan tentang hantu-hantu itu, lupakan tentang masalah yang sedang kamu hadapi. Anggap setiap kerikil ini adalah masalahmu. Lempar jauh-jauh ke danau sambil berteriak," jelas Arga.

"Harus berteriak?" Aluna bertanya, dibalas dengan anggukan oleh Arga. "Aku nggak bisa," lirih Aluna.

"Cepat lakukan, ini tidak memakan waktu banyak." Arga mengambil satu kerikil dari tangan Aluna. "Seperti ini." Arga memejamkan mata sejenak, kemudian melemparkan kerikil dengan berteriak. "Pejamkan mata, katakan masalah yang ingin kamu lepaskan. Lempar batunya sekeras mungkin sambil berteriak. Tidak akan ada yang mendengarmu di sini," jelas Arga lagi.

Aluna mengangguk. Ia segera menutup matanya, merapalkan satu-persatu masalah yang ingin ia buang sejauh mungkin. Kemudian Aluna melempar kerikil tersebut sembari berteriak seperti Arga.

Arga terkekeh. "Lumayan," katanya sambil melakukan hal yang sama dengan Aluna.

Aluna menoleh ke arah Arga sembari tersenyum, sangat-sangat tipis. "Ga!" panggilnya.

"Hmm?"

"Kenapa kamu baik sama aku? Kenapa nggak kayak mereka yang menjauh?"

"Karena aku peduli sama kamu, Lun. Aku nggak bisa lihat kamu disakitin terus. Pokoknya selama ada aku, kamu akan baik-baik saja," kata Arga seraya memegang kedua bahu Aluna.

"Kalau kamu tiba-tiba menjadi seperti mereka?"

Arga menggeleng. "Gak akan. Kalaupun iya, aku akan menyakiti diriku sendiri."

"Bullshit!" sahut Aluna.

"Aku serius," balas Arga. "Aku punya sesuatu untuk kamu." Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang