"Siapa Cindy?" Pertanyaan itu muncul dari Aluna ketika guru-guru masih membicarakan rencana untuk mengurung arwah Cindy kembali.
Bu Sekar tampak menitikkan air mata. Ia mendekat kepada Aluna dengan wajah sendu. "Cindy adalah anak saya yang juga bersekolah di sini tiga tahun silam." Sontak hal itu membuat Aluna terkejut sekaligus merasa kasihan.
"Dia anak yang baik. Suatu hari Cindy pulang sedari kegiatan ekstrakuliker. Sesampai di rumah, ia menyadari jika handphone-nya ketinggalan. Ibu melarang dia untuk pergi karena sudah malam, tapi Cindy sangat keras kepala. Akhirnya Cindy pergi, dan entah bagaimana tiba-tiba Pak Prapto menelepon ibu kalau Cindy sudah tiada. Malam itu bersamaan dengan terjadinya perampokan beberapa komputer, mungkin Cindy melihat pelakunya, dan akhirnya mereka melenyapkan Cindy yang sempat bersembunyi di toilet. Pak Prapto datang, tapi sayangnya semua sudah terlambat."
Aluna menarik napas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang terjadi, termasuk penderitaan Bu Sekar. Terlebih saat arwah anaknya sendiri dikurung dengan paksa.
"Saya rasa kita tidak bisa mengurung Cindy terus-terusan, Pak, Bu. Cindy mengatakan kepada saya, tujuannya hanyalah untuk mengungkap kebenaran. Berarti dalam hal ini ada hal besar yang belum kita ketahui. Kita harus menyelesaikan masalah ini, jika tidak--"
"Tidak bisa!" Tiba-tiba Pak Sucipto selaku guru Kimia memotong pembicaraan Aluna. "Saya tidak terima usulan kamu, Aluna. Mau berapa nyawa lagi yang kamu bahayakan? Lihat saja apa yang Cindy lakukan pada Jessica dan Sissy hari ini. Kita harus segera mengurung arwah Cindy secepat mungkin."
"Tapi, Pak. Jika kita terus mengurungnya, kita tidak bisa mengetahui kebenaran yang dimaksud Cindy. Kita tidak akan bisa hidup tenang sebelum hal ini terselesaikan," ucap Aluna dengan menekankan di akhir kalimatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Pak Sucipto.
"Selain itu ... saya yang akan membantu Cindy. Cindy sudah percaya kepada saya, Pak, Bu. Dia ingin sebuah kebenaran terungkap. Maka dari itu saya butuh persetujuan dari bapak dan ibu guru," sambung Aluna. Kali ini ia sangat yakin dengan keputusannya.
"Sepertinya kamu kurang waras, Aluna. Cindy berbicara kepadamu? Sangat tidak masuk akal," sarkas Pak Sucipto.
"Saya bisa melakukannya, Pak! Kenapa Bapak sangat tidak ingin saya mengungkap kebenaran ini? Apakah bapak tau kebenarannya?"
Pak Sucipto terdiam, entah mengapa Aluna bisa melihat raut kekhawatiran di wajah pria itu. "Jaga omongan kamu, Aluna! Kamu adalah siswa di sini."
"Sudah, cukup, Aluna," sela Pak Handoko. "Lakukan saja apa yang menurutmu benar. Tapi bapak minta, lakukan secepat mungkin."
Aluna tersenyum penuh kemenangan. Untuk kedua kalinya ia merasa dipercayai. Namun, tidak dengan pak Sucipto. Guru itu bahkan masih berusaha menghasut Pak Handoko untuk melarang Aluna.
***
Bel istirahat berdering dengan nyaring. Siswa-siswi mulai berkeliaran ke kantin untuk memberi asupan perut yang sedari tadi berdemonstrasi. Namun, ini adalah waktu yang sangat melelahkan untuk kelas 12 IPA-2 setelah kejadian Jessica. Banyak meja, kursi, serta kertas-kertas berhambur di ruang kelas yang membuat mereka harus merapikannya.
Aluna segera bergegas keluar setelah tugasnya selesai. Tujuannya saat ini adalah perpustakaan. Namun, lagi-lagi ia merasa risih karena Arga selalu mengekorinya.
"Bukankah kamu tidak suka ke perpustakaan?" tanya Aluna dengan melihat sekilas laki-laki di sampingnya.
"Suka, apapun yang berhubungan dengan kamu aku suka."
Sontak hal itu membuat Aluna mempercepat langkahnya meninggalkan Arga. Bukan karena malu, melainkan ia tidak terbiasa diberi kata-kata semacam itu. Bisa jadi ini yang pertama kalinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold (END)
KorkuAluna Agneta Danendra, kerap disapa dengan sebutan Aluna, gadis unik dengan kemampuan indra keenamnya. Aluna tidak begitu mahir dalam mengendalikan serta memainkan kemampuannya. Hal itu seringkali membuatnya dicap sebagai monster atau gadis gila. Or...