BAB 8

827 82 12
                                    

Tubuh Aluna benar-benar lemas, keringat mengucur dari pelipisnya. Cukup lama ia tertidur hingga lupa jika seragam masih melekat di tubuhnya. Hari juga sudah malam, Aluna benar-benar lupa waktu.

Gadis itu duduk di bawah shower yang menyala deras, membiarkan dirinya basah kuyup dijatuhi air. Dia menangis, cukup keras tapi masih dikalahkan dengan bunyi air yang mengalir dari shower

Dunia memang kejam kepadanya. Benar-benar tidak ada yang mempedulikannya, tidak ada yang menginginkannya. Bahkan orangtua sebagai naungan terakhir pun tampak menyesal melahirkan Aluna di dunia ini.

Wajahnya memerah karena menangis. Gadis itu meringkuk, tubuhnya gemetar lantaran kedinginan atau karena tangisannya. Kemudian ia mematikan shower setelah puas menangis.

Aluna keluar dengan menggunakan piyama. Aluna beralih duduk di meja riasnya, memandangi pantulan dirinya yang terlihat cukup miris dengan mata sembap. Aluna mengambil sisir, merapikan rambutnya dengan pelan-pelan. Kumpulan helaian rambut ia bawa ke sisi kanan dadanya, menyisir dengan perlahan di sana. Sesekali ia tersenyum melihat bayangannya di cermin, sangat tidak cocok jika senyuman berada di wajahnya, menurut Aluna.

Sesosok bayangan hitam tiba-tiba melintas di cermin menuju ke luar kamar. Aluna bangkit, berjalan mengikuti bayangan yang perlahan menuju dapur. Di sana sangat gelap, bahkan Sean pun sepertinya telah terlelap jika Aluna panggil.

Pencahayaan di dapur pun cukup minim, sehingga sulit bagi Aluna untuk memastikan dari jauh. Aluna benar-benar gugup, pelan-pelan berjalan menuju kamarnya kembali. Namun, derap langkah kaki membuat gadis itu berhenti melangkah.

"Kak Sean?"

Dia tidak menjawab. Hanya derap langkah kaki yang semakin mendekat terdengar dengan jelas. Tidak mungkin itu Sean, laki-laki itu bahkan telah berkelana di mimpinya. Apakah pencuri? Aluna meneguk salivanya susah payah. Mungkin saja bukan, di rumahnya tidak pernah terjadi pencurian sebelumnya.

Gemetar melanda tubuh Aluna. Frekuensi jantungnya berubah menjadi lebih cepat. Kakinya terasa sangat berat untuk berlari. Aluna mundur perlahan, mencari keberadaan pintu kamarnya tanpa menoleh di bawah cahaya temaram ini.

"Aluna." Suara itu ringan dan menggema. Aluna tidak bisa melihat dengan jelas sebab pencahayaan yang sangat minim.

"Si--siapa?" tanya Aluna pada sosok wanita di hadapannya kini.

Dia tidak menjawab.

Sekarang Aluna benar-benar gemetar. Ia tidak bisa bergerak, kakinya melemah. Tetes demi tetes darah keluar dari hidungnya dan jatuh ke piyama.

Aluna benar-benar mengeluarkan air mata saat ini. Ia terisak cukup parah seiring wanita itu yang berjalan mendekat. Oh, sialan! Pintu kamar Aluna benar-benar macet. Haruskah hal ini terjadi sekarang? Kenapa?

Napas Aluna tertahan ketika wanita itu mencekek leher Aluna. Darah dari kepalanya mengenai piyama Aluna, membuatnya dipenuhi darah. Pandangan Aluna mengabur, ia tidak bisa bernapas. Tidak. Aluna benar-benar tidak bisa bergerak.

Aluna membuka mata dengan napas yang tersengal-sengal. Ia sangat panik, semuanya terasa sangat nyata. Gadis itu mengambil air minum di gelas atas nakas kemudian meneguknya hingga tak tersisa. Aluna kembali mengatur napasnya, perlahan-lahan ia bisa bernapas dengan tenang.

"Aluna ... kamu tidak apa-apa, 'kan? Aluna!"

Aluna masih mengatur napas dengan pikiran yang berkecamuk. Tiba-tiba Sean datang menggedor-gedor pintu seperti orang tak sabaran.

"Ada apa, Kak?" Aluna membuka pintu, tampak seorang laki-laki dengan kaos toska sedang khawatir di sana.

"Tadi kakak dengar kamu berteriak. Ada apa?"

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang