BAB 9

798 74 8
                                        

Sepulang sekolah, Aluna duduk di halte bus. Bukan untuk menunggu bus datang, melainkan memastikan agar Arga benar-benar tidak mengikutinya. Laki-laki itu selalu bersikeras untuk tahu segala hal yang menyangkut Aluna. Seperti sebelum bel pulang berbunyi, Arga terus memohon-mohon kepada Aluna. Bahkan nekat meninggalkan motornya agar bisa naik taxi bersama gadis itu.

Aluna juga sudah memberitahu Sean agar tidak menjemputnya dengan alasan akan ke toko buku. Sama seperti Arga, laki-laki itu bahkan bersikeras supaya Aluna tidak pergi sendirian. Dua orang yang berbeda, tapi dengan kelakuan yang hampir sama. Arga adalah laki-laki kedua setelah Sean yang membuat Aluna tak sungkan berbicara.

Setelah memastikan Arga sudah tidak ada dan Sean tidak menjemputnya, Aluna pergi menggunakan taxi ke suatu tempat. Mengecek handphone-nya, Aluna pergi sesuai alamat yang dikirimkan.

Cukup jauh dari sekolah dan rumah, di dekat hutan ada sebuah rumah besar tanpa tetangga. Di sekitarnya dikelilingi berbagai pepohonan besar dengan bunyi-bunyi yang menjelikan indra pendengaran. Angin berhembus menerbangkan helai rambut Aluna yang tergerai. Di teras rumah ada burung kakaktua yang menimbulkan kebisingan dengan suara yang tidak jelas. Sangat sepi dan mencekam.

Aluna mengulurkan tangan memutar kenop pintu yang sama sekali tidak dikunci. Rumah ini cukup gelap dengan beberapa lilin sebagai pencahayaan. Anehnya, Aluna tidak melihat sosok yang menyeramkan di sini.

"Aluna, akhirnya kamu datang juga," kata sesorang wanita dengan rambut sebahu. Wanita itu cukup cantik dengan bawah mata yang dibuat agak hitam dengan sengaja.

"Jangan sungkan, ayo masuk." Wanita itu tersenyum kepada Aluna, menuntunnya menuju dua buah kursi yang saling berhadapan dengan meja bundar sebagai pembatas.

"Bunda tau apa yang kamu rasakan, Aluna. Bunda juga pernah dibenci oleh orang-orang, bahkan sampai dianggap gila. Namun, bunda tidak menyerah sampai di situ, karena bunda yakin ini adalah suatu kelebihan yang ditakdirkan untuk bunda."

Aluna tersenyum mendegar penuturan wanita itu. Dia Dea---keluarga jauh yang juga memiliki kemampuan seperti Aluna. Aluna biasa memanggilnya dengan sebutan 'bunda'.

"Aluna sengaja datang ke sini untuk meminta bantuan Bunda. Boleh, 'kan? Aluna kemarin sangat bahagia saat Bunda setuju untuk bertemu," kata Aluna seraya tersenyum.

"Apa yang terjadi, Aluna?"

Aluna menceritakan semua kejadian yang menyangkutnya akhir-akhir ini. Mulai dari Cindy, mimpi, bahkan sampai ke sosok yang mengikuti Arga. Bunda Dea yang mendengar itu kemudian berdiri dengan mengambil sesuatu dari kotak.

"Itu sudah biasa, Aluna. Kuncinya jangan takut, sebab mereka hanya ingin menakut-nakutimu." Bunda Dea kembali duduk di kursi hadapan Aluna.

"Bunda, Aluna pernah baca tentang kemampuan melihat sesuatu yang pernah terjadi hanya dengan memegang benda yang bersangkutan." Aluna melepaskan tas dari punggungnya, mengambil buku bersampul hitam kemudian menyodorkannya kepada Bunda Dea. "Apakah Aluna juga bisa?" tanya Aluna ketika Bunda Dea sedang membuka lembar demi lembar buku tersebut.

"Setiap kemampuan indra keenam itu berbeda-beda, Aluna. Bunda juga tidak yakin apakah kamu benar-benar bisa. Namun, ada satu cara untuk memperdalam kemampuan kamu." Bunda Dea menyodorkan sebuah buku dan liontin yang diambil dari kotak kepada Aluna. "Pelajari buku itu dengan sungguh-sungguh, bunda yakin kamu bisa mengasah kemampuanmu. Liontin itu dikasih oleh ayah bunda, sekarang bunda kasih ke kamu."

Aluna terdiam. Ia membuka perlahan lembar buku yang diberikan Bunda Dea, kemudian mengangkat liontin dengan batu kristal berwarna merah.

"Sebelum itu ... mari ikut bunda."

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang