Chapter 4

47 9 0
                                    

Firasat
———{••★••}———

Hujan masih belum reda, bahkan bertambah deras. Sesekali terdengar guntur yang membuat keberanian menciut, terutama Erwinda.

Tingkahnya seperti bocah berusia lima tahun saja, saat suara guntur terdengar ia berlari terbirit-birit ke arah Danu dan bersembunyi di belakangnya.

"Erwinda, apa yang kamu lakukan? Katanya mau tidur?" ucap Danu dengan nada seakan mengejeknya. Sedangkan empunya nama tidak berkutik sedikitpun malah semakin erat mencengkram baju Danu.

"Takut?" tanyanya memutar posisi duduk dan kini berhadapan dengan putrinya itu.

"Winda nggak takut kok, tadi itu cuma ...," lirihnya. Namun, belum selesai ia berucap lagi-lagi suara guntur itu terdengar lagi sontak membuatnya memeluk sang ayah.

Danu terkekeh melihat putrinya, timbul rasa ingin menakutinya. Namun, ia urungkan mengingat Erwinda memang sangat takut dengan kegelapan.

"Dasar penakut!" ejek Arin yang duduk tak jauh dari mereka.

"Aku tidak penakut kok, cuma ngeri aja kan gelap," gerutunya yang masih dipelukan Danu.

"Manja," ucap Arin sedikit risih dengan tingkah Erwinda yang seperti bocah menurutnya.

"Sudah-sudah jangan bertengkar!" ucap Danu mencoba melerai perdebatan keduanya.

"Iya, Paman."

"Anak pintar," ucapnya mengacak-acak rambut anak serta keponakannya itu.

Danu beranjak meninggalkan kedua gadis itu menuju kamar Erwinda. Ia menyalakan lilin dan meletakkannya di lantai dan sekarang tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.

"Arin, sebaiknya ajak adikmu itu untuk tidur, tidak ada yang perlu ia takutkan sekarang!" ujar Danu yang keluar dari kamar.

Arin menghentikan kegiatannya mengkompres pria yang tak sadarkan diri itu, tentu ia melakukannya karena perintah sang paman.

"Ayo!" ajak Arin saat beranjak dan menarik tangan Erwinda yang masih duduk.

"Nanti saja, aku mau dengar cerita dulu," ujarnya menarik balik tangan Arin membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan.

"Memang kamu ingin cerita apa?" tanya Danu yang kini sudah duduk tepat di hadapan kedua gadis itu.

"Aku ingin cerita ...." Erwinda masih menggantungkan ucapannya.

Tatapannya tertuju pada pria yang berbaring itu, tentu banyak yang ingin ia tanyakan pada ayahnya. Rasa penasaran menghantuinya itulah sebab ia belum mengantuk, tentu dengan rasa takut pula.

"Paman, sepertinya sampai tahun depan kita tidak akan mendapat jawaban darinya," ucap Arin sebal karena jujur saja dia sudah sangat ngantuk dan ingin cepat-cepat bertemu dengan kasur.

"Erwinda!" panggil Danu yang menyadarkan lamunan gadis itu.

"Apa sudah tahu ingin cerita apa?" Ia kembali bertanya tapi sepertinya tidak akan mendapatkan jawaban.

Sekilas Erwinda masih memandang sosok yang tengah berbaring, seperti orang mati.

"Lain kali saja, Ayah. sepertinya Kak Arin sudah sangat mengantuk," ujarnya sambil memang wajah Arin.

"Syukurlah kalau kamu tahu. Sudah ah, aku duluan!" ucap Arin menuju kamar diikuti oleh empunya kamar.

Kedua gadis itu kini sudah masuk kamar mereka, sekarang tinggallah Danu dan pria asing di ruang tengah ini. Walaupun belum kenal, entah kenapa ia seperti sangat dekat dengannya.

"Semoga kau cepat sadarkan diri anak muda, supaya aku tau siapa kau sebenarnya," ujar Danu mengganti kain yang membalut luka pria tersebut.

🌾🌾🌾

Bersambung ...

Salam hangat dariku untukmu!
See you next part!
Bye bye!
🦋

My Name Is ErwindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang