Chapter 7

45 9 4
                                    

Kabur
———{••★••}———

Seminggu berlalu, tiada tanda-tanda pemuda itu akan sadar dari tidurnya.

Sesuai perintah sang Ayah, Erwinda senantiasa merawat pria itu. Sesuai janjinya, dia akan bertanggung jawab atas perbuatan yang ia buat.

"Kapan kau akan bangun, apa kau tidak capek tidak capek tidur mulu? Aku sakit semalam saja sudah jenuh berbaring tapi kau malah keenakan. Dasar!" umpat Erwinda saat membersihkan sisa-sisa obat yang menempel di kaki prai itu.

"Ayolah! Bisakah kau bangun, aku ingin bebas dari hukuman ini ...!" kini air mata gadis itu keluar tanpa seizinnya.

Entah Erwinda yang mudah putus asa atau laki-laki itu yang tidak ingin hidup lagi.

🌾🌾🌾

"Ayah!" lirih Erwinda saat terbangun dari pingsannya.

Ia berusaha untuk duduk tapi dicegah oleh Danu dan membiarkannya memandang wajah sang ayah dengan posisi berbaring, kurang nyaman pastinya.

"Ayah, maafin Erwinda, yah!" ucapnya menundukkan pandangan takut kalau sosok di hadapannya akan kembali murka.

Tiada jawaban yang Erwinda nantikan keluar dari bibir ayahnya, apa mungkin ia masih marah.

Laki-laki itu tampak sedang memikirkan sesuatu, ia tidak membalas permintaan maaf dari putrinya sendiri, sungguh aneh.

"Ayah!" panggilannya lagi.

Lagi-lagi tidak ada sautan membuat ia kecewa, diacuhkan oleh orang yang ia sayang. Danu melangkah keluar kamar, disaat yang bersamaan Arin masuk membawa semangkuk bubur dan air hangat.

Dipandangnya punggung Danu sampai tak terlihat lagi, sebesar itukah salahnya di mata pria itu. Segera ia menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya.

"Ayo, makan dulu!" ujar Arin meletakkan mangkuk dan gelas ke atas nakas.

"Hey!" Arin menyingkapkan selimut tebal itu. Mencoba menyingkirkannya, tapi gagal karena Erwinda memeganginya dengan erat.

Terdengar isakan dari dalam selimut, 'apa dia menangis?' tanyanya pada diri sendiri.

"Win, kau menangis?" tanya Arin lembut duduk mendekati Erwinda.

"Hey! Buka, aku ingin melihat seperti apa sang Erwinda menangis!" goda Arin pelan-pelan membuka selimut itu.

"Dorrrr!" lagi-lagi ia kena batunya. Berniat menjahili malah ia yang dijahili, dasar.

Kaget tentunya, hampir saja jantungnya lepas dari tempatnya karena ulah Erwinda. Berulang kali ia menormalkan detak jantungnya dan menghela napas panjang.

'Sabar, sabar. Ingat dia lebih kecil darimu, jadi kau harus mengalah. Oke!' batinnya dengan tangan kanannya berulang mengelus dada.

"Kau menangis?" tanyanya lagi. Mencoba lebih berhati-hati dengan kata-katanya.

Bukannya menjawab Erwinda malah memandang Arin dengan intens.

"Erwinda! Aku sedang bertanya apa kau dengar?" ujarnya sedikit sebal.

"Ya, aku dengar. Sekarang giliranku yang bertanya, apa aku terlihat bersedih?"

"Mana aku tahu."

"Kau harus tahu, supaya tahu." Celotehnya membuat suasana yang penuh aura kesedihan menjadi menja budar, tempat berdebat yang panas.

🌾🌾🌾

Itu terakhir kalinya ia ditemani Arin, sekarang sendiri lagi. Tidak, lebih tepatnya bertiga termasuk ayahnya dan pria yang tak tahu namanya itu.

"Ayah! Bolehkah Erwinda main keluar?" rengeknya dengan mata yang berbinar saat mengembalikan mangkuk berisikan obat itu ke dapur.

"Tentu saja boleh!"

'Yes!' sorak ria di hati Erwinda.

"Tapi ...," ucap Danu menggantungkan perkataannya.

Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu depan.

"Eh, mau kemana? Ayah belum selesai bicara!" teriak Danu dari dapur.

"Sebentar aja, Yah. Nanti Erwinda bakal bantu Ayah lagi kok!" teriaknya saat menuruni anak tangga dan menghilang mungkin sudah pergi ke rumah temannya.

"Ya ampun!" Danu menggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya satu ini, ya hanya satu tidak ada dua karena itu tak mungkin.

🌾🌾🌾

Bersambung...
Salam hangat dariku untukmu!
See you next part!
Bye bye!
🦋

My Name Is ErwindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang