Chapter 6

47 8 3
                                    

Benci Sendiri
———{••★••}———


"Erwinda!" panggil orang tersebut.

Kedua gadis itu berbalik, bisa ditebak siapa yang datang.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian berdua menangis?" tanya Mbah Karno.

Pria paruh baya itu membawa beberapa tanaman, sepertinya obat.

"Maaf, Mbah tidak mengucap salam saat masuk tadi," ujarnya memandang kedua gadis tersebut.

"Ti-tidak apa-apa, Mbah. Mari duduk dulu," ucap Erwinda dengan suara seraknya.

Arin segera ke dapur mengambil air minum. Sejujurnya ia sangat gugup tadi, syukurlah bukan pamannya yang datang.

"Huft ...!" Arin menghela napas panjang sebelum kembali ke ruang tengah.

Dibawanya nampan berisi air minum dan beberapa buah yang ada. Sedangkan Erwinda menunduk lesu di sana, rasa risau menghantui hatinya saat ini, tak berani melihat Mbah sedikitpun.

"Silahkan diminum, Mbah!" ujar Arin menaruh nampan tersebut di lantai kayu itu.

"Terima kasih, Nak. Nggak usah repot-repot, Mbah ke sini hanya sebentar cuma untuk mengecek keadaan pemuda itu," jelas Mbah menoleh ke arah tempat pemuda itu terbaring.

Sontak itu membuat keduanya kaget, terutama Erwinda. Dialah yang paling bertanggung jawab jika pria itu sampai meninggal karena ulahnya, tak bisa ia bayangkan kalau harus dibawa ke kantor polisi.

"Nak Danu ke mana yah? Kok nggak keliatan dari tadi."

"Emm, Paman sedang mencari obat, Mbah. Sebentar lagi juga pulang," jawab Arin tenang.

Sesekali Mbah Karno melihat jam dinding, mungkin ini sudah cukup lama ia menunggu. Dirinya memang sudah diberi tanggung jawab dari Pak Kades untuk kesembuhan pemuda tak dikenal itu, berkemungkinan kecelakaan beberapa hari yang lalu ada kaitannya dengan para anak buah Topeng Hitam yang sering membuat kekacauan di kampung ini.

Adzan berkumandang dari mushola memecahkan keheningan.

"Sudah waktunya sholat zuhur, kalau begitu Mbah ke mushola dulu, nanti Mbah ke sini lagi," ucapnya usai menghabiskan kopi yang dibuat Arin tadi.

"Iya, Mbah."

Mbah Karno pun beranjak menuju ke ambang pintu, ia belum memeriksa pemuda itu kerena obat herbalnya belum ada. Namun, langkahnya terhenti  saat ingin berpamitan dengan empunya rumah.

"Arin, Erwinda!" panggil Danu saat menaiki anak tangga.

"Ayahnya sudah pulang, Mbah," ucap Erwinda Yang hendak menyambar tangan Mbah Karno ingin bersalaman.

"Assalamualaikum! Eh, Mbah. Sudah lama?" tanya Danu saat menyadari ia sedang ada tamu.

"Waalaikumsalam. Tidak juga, anak gadismu sangat pandai menyambutku dengan baik," ungkap Mbah Karno berjabat tangan dengan Danu.

"Apa yang sebenarnya kau berikan pada pemuda itu tadi?" bisik Arin membawa Erwinda agak jauh dari pamannya itu.

"Ceritanya panjang, Kak. Nanti aku ceritakan, sekarang lebih baik kita temui ayah," jawabnya pelan.

Tanpa sadari Danu sedari tadi memperhatikan gelagat kedua gadis itu, aneh. 'Seperti ada yang disembunyikan' batinnya.

Namun, ia tidak terlalu memperdulikan itu karena ada hal yang lebih penting, yaitu menyelamatkan nyawa pemuda asing yang sekarang berada di rumahnya. Danu langsung meletakkan keranjangnya di balik pintu dan segera membersihkan diri.

My Name Is ErwindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang