Chapter 8

43 6 13
                                    

Maling
———{••★••}———

Sudah puas berkeliling membuat Erwinda lelah dan memutuskan untuk pulang, lagi pula ia telah berjanji pada Ayahnya.

Satu-persatu anak tangga ia pijak, kedua tangannya pun berpegangan pada kayu yang ada di samping tangga tersebut.

Erwinda masih duduk di luar, sejenak ia menghela napas berat. Usai mengumpulkan sisa nyawanya ia beranjak, sesekali menguap tapi ditahan.

"Ayah!" panggilnya sambil mengetuk pintu kayu itu.

"Aku pulang, Ayah! Buka pintunya," ucapnya lagi.

Hampir lima menit ia menunggu pintu itu terbuka, membuat rasa kantuknya tak tertahankan lagi. Erwinda akhirnya memilih untuk tidur di luar saja, ingin masuk lewat jendela tapi nanti bisa dikira maling. Lagi pula Ayahnya pasti akan marah.

Baru saja ia hendak menyandarkan tubuhnya ke dinding, terdengar derap langkah seseorang di dalam.

Apa itu ayah? Tapi pas dipanggil kok enggak nyahut sih!

Gadis itu segera bangkit, mencari sumber suara, di dapur atau di ruang tengah.

Untuk kesekian kalinya rasa takut menghampiri, tapi bukan Erwinda namanya kalau penakut lalu untuk apa julukan singa betina itu.

Hati-hati, tapi pasti. Ia melangkah mendekati gagang pintu, jemari lentiknya sangat lihai memutar benda itu tanpa suara.

"Eh, tunggu dulu. Senjataku mana? Aku harus punya sesuatu yang lumayan keras sekarang," gumamnya kembali ke luar.

Pandangannya menyapu seluruh sudut rumah, mulai dari atas hingga bawah. Namun, nihil tidak ada benda keras selain batu. Terlalu ekstrim jika menjadikan benda itu sebagai senjata, ukuran yang besar pastilah sulit untuk digenggam. Jangan sampai senjata makan tuan nantinya.

"Tidak ada yang berguna di sini, hanya ada sapu dan itu ...," runtuknya memandangi sapu yang telah patah

"Eh, gagangnya lumayan keras. Yes!" ucap Erwinda ketika tersadar.

Benar kata ayah, apapun dan siapapun yang tercipta tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai manfaat dan tujuan masing-masing.

Sigap Erwinda menyambar gagang sapu patah itu, kembali melangkah masuk dengan kuda-kuda siaga.

Belum ia ingin memutar gagang pintu itu sudah terputar sendiri, membuatnya bergidik ngeri. Selama tinggal di sini Erwinda tidak pernah merasakan adanya hantu.

Spontan Erwinda memukul sosok yang muncul dari balik pintu dengan sekuat tenaga.

"Hantu! Ayah ada hantu!" jeritnya tak lupa sambil memukul empunya badan.

"Woy, berhenti! Sakit semua ini!" Suara serak seperti yang orang baru bangun tidur.

"Ayah! Hantunya bisa ngomong!" rengek Erwinda masih dengan mata yang masih tertutup rapat. Enggan membukanya, sedangkan pemilik suara bariton itu masih mengelak dari pukulan gagang sapu.

"Woy, berhenti enggak! Gue bukan hantu, nanti malah dikira ngapa-ngapain lo lagi. Eh, berhenti!"

"Enggak mau, kamu pasti hantu 'kan? Atau jangan ...." Erwinda menggantungkan ucapannya, perlahan membuka mata.

Senyap, pandangan mereka bertemu. Erwinda syok mengetahui kalau yang Di hadapannya saat ini adalah manusia. Lama keduanya terdiam hingga sosok itu berbicara.

"Bisa lepas enggak pegangannya?" ujar pria itu membuat Erwinda menurunkan gagang sapu sesaat dengan wajah yang masih syok.

"Nah, gitu dong dari tadi." Pria itu bangkit dan membenarkan pakaian yang ditarik Erwinda tadi seperti semula.

My Name Is ErwindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang