Chapter 1

125 22 9
                                    

Putih Abu-abu
———{••★••}———

Pagi yang cerah, Erwinda mengawali harinya dengan gembira. Ditemani sepeda miliknya, ia melewati satu per satu rumah menuju sekolah.

Setiba di sekolah, Ia langsung menunjukkan ke kelas. Raut wajahnya berubah seketika, begitu pula suasana hati gadis itu saat mendengar percakapan anak-anak yang lain.

"Eh, kalian tahu enggak kalau Arin bakal nikah?" ujar seorang siswi dengan teman-temannya di depan kelas Erwinda.

"Emangnya enggak ngerasa rugi yah? Tinggal nunggu ujian lho! Kan sayang bentar lagi kelulusan," ucap yang lain.

Erwinda yang sedari tadi mendengar hal itu pun tak memperdulikan mereka, karena ia lebih tau tentang sepupunya itu daripada orang lain.

Ya, mungkin umur mereka memang terpaut jauh tapi tak menghalangi ia tuk jadi orang terdekatnya. Karena, semenjak Erwinda kecil Arin lah yang menjadi teman setianya, merawatnya layak seorang ibu, hal itu lah yang membuat ia sangat menyayangi Arin.

Bel masuk berbunyi membuat perbincangan para gadis itupun tertunda, karena kelas mereka berbeda.

Erwinda menghela napas lega, kali ini mungkin dia hanya bisa diam dengan gosip para siswi di sekolahan ini. Namun, ia tak 'kan takut pada siapapun bila ibu kecilnya itu--Arin, disakiti.

🌾🌾🌾

Sekolah sungguh membosankan, hari ini penuh dengan pelajaran menghitung yang sangat dibenci olehnya. Bagaimana tidak pelajaran matematika satu jam saja sudah membuatnya muak, apalagi tiga jam. Ahh, menyebalkan umpatnya dalam hati.

Kini wajah tampil kusut saat ia pulang ke rumah, sangat jauh berbeda saat tadi pagi.

Rasanya sungguh berat untuk melangkah menaiki anak tangga satu per satu. Sejenak rasa letih itu menghilang saat Pak Danu--Ayah Erwinda
--pulang membawa beberapa buah di keranjangnya, sontak ia segera berlari ke arah sang ayah.

"Win, nanti kamu antarkan buah ini pada sepupumu Arin di kampung sebelah yah!" ujar Pak Danu saat memilih buah-buahan di keranjangnya.

Anggukan kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sang ayah. Jemari mungilnya memilih beberapa buah, dan pilihan jatuh pada si kuning, dengan hati-hati Erwinda mengupas kulitnya kemudian melahapnya.

Dengan gemas Pak Danu mengacak-acak rambut Erwinda, gadis ini sudah berusia 17 tahun tapi masih saja bertingkah seperti anak kecil.

Sungguh beruntung dirinya mendapatkan seorang putri sepertinya, tak salah nama yang ia berikan sama persis seperti nama sang mendiang istri dan sifat mereka berdua pun hampir sama.

Beberapa saat kemudian senyum itu pudar dari wajah keriput itu, mengingat Erwinda seorang anak gadis yang akan ikut dengan sang suami saat ia menikah nanti dan setelah itu ia akan sendiri lagi, di gubuk tua miliknya ini.

"Ayah, apa ini cukup?" tanya Erwinda yang memudarkan lamunan Pak Danu.

"Ayah, kok ngelamun sih! ayo mikirin apa? Jangan bilang kalo ayah lagi mikirin Mak Siti itu," seloroh Erwinda dengan tatapan penuh selidik.

Melihat hal itu sontak membuat Pak Danu terkekeh, saat itu juga wajah sang putri berubah masam, Pak Danu menghentikan tawanya setelah mendapat cubitan kecil serta tatapan tajam gadis yang dijuluki singa betina itu.

"Sudah, kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh deh. Sayangnya Ayah itu cuma buat kamu kok." Pak Danu meraih plastik buah yang ia isi tadi.

"Sekarang kamu ganti baju, terus antar ini sama sepupumu." Erwinda pun mengangguk dan berlari menuju ke kamarnya.

My Name Is ErwindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang