11

38 4 5
                                    

Sekarang jam pelajaran terakhir, matematika. Pak Burhan tampak membagikan kertas ulangan harian mereka.

"Aditya Dermawan." Panggil Pak Burhan, kemudian menyerahkan kertas hasil ulangan kepada laki-laki itu.

Penyerahan terus berlanjut, berbagai macam ekspresi tertampang dimuka murid-murid. Ada yang berujar senang mungkin karena nilainya tinggi sehingga usahanya tidak sia-sia, ada yang sedih mungkin karena tidak sesuai ekspektasinya, dan ada juga yang gugup karena takut terkena hukuman dari pak Burhan.

Pak Burhan memang seperti itu, jika ada murid yang mendapatkan nilai jelek ketika ulangan, meskipun itu hanya ulangan harian, beliau tidak segan-segan menghukum. Hal begitu dikarenakan beliau ingin menjadikan murid-murid merasa takut, dengan begitu mereka akan lebih tekun belajar untuk mendapatkan nilai yang tidak mengecewakan. Memang terkadang hal seperti itu membuat murid-murid jengkel akan peraturan seperti itu, untung saja hanya pelajaran matematika, kalau pelajaran yang lain ya juga, mereka tidak bisa membayangkan!

Mungkin cara mengajar Pak Burhan berbeda dengan guru yang lain, itu pendapat Fatimah mengenai Pak Burhan. Dia mencoba berpikir positif, berusaha mengambil sisi baiknya.

"Astaga Nda, gue dapat 20. Tega banget tuh bapak kumis." Celetuk pelan hampir berbisik Luqaf kepada Fatimah ketika melihat tinta merah mencoret kertasnya, jangan lupakan angka yang tertampang jelas, '20'. Kemudian dia melirik Pak Burhan yang masih asik membagikan kerta ulangan kepada teman-temannya.

Fatimah melotot, bukan melotot seperti ingin mengajak berkelahi atau lain sebagainya. Itu pelototan yang lucu menurut Luqaf. Bagaimana tidak, wajahnya yang imut seperti itu melotot?

"Hei nama beliau itu Pak Burhan, bukan pak kumis." Tegurnya pelan, takut ketahuan.

Luqaf hanya menjawab acuh, "siapa suruh kumisan." Entengnya.

"Makanya, kamu itu -- "

Fatimah hendak memberi wejangan lagi kepada Luqaf namun terpotong ketika Pak Burhan berbicara. Perhatian kedua orang itu, ah semua murid maksudnya, teralihkan menatap Pak Burhan yang berdiri didepan kelas dengan mimik muka serius, sungguh itu sangat menakutkan bagi mereka. Jika beliau sudah menatap seperti itu, sepertinya akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.

Semua murid kala itu diam, tidak ada yang berani berbicara. Mereka hanya menatap guru killer itu dengan pandangan campur aduk. Disitu, didepan kelas tertampang jelas postur tubuh Pak Burhan yang hm.. agak gemukan didaerah perut. Kumis tebal yang menghiasi mukanya, kepala yang berambut kecuali bagian tengah alias longor dibagian tengah, dan jangan lupakan tongkat dari rotan yang beliau sembunyikan dibalik tubuhnya.

"Bagi nilainya yang dibawah KKM, silakan maju kedepan." Titah guru killer itu dengan pandangan menyeramkan.

Murid-murid saling toleh menoleh, tidak ada yang berani maju. Hal itu membuat Pak Burhan geram.

"Maju kamu, Qaf." Fatimah bersuara berbisik sambil sesekali melirik Pak Burham yang sudah kesal. Pasalnya teman sebangkunya itu tidak maju kedepan, bergerak sedikipun tidak.

Luqaf menoleh dan melengos, "mentang-mentang dapat nilai tinggi."

Kemudian anak itu berdiri sendiri disaat murid yang lain bungkam. Dia sempat melirik Fatimah yang hanya cekikikan, "kali ini apa hukumannya? Gudang lagi?" Gumamnya sendiri, kemudian berjalan ke depan kelas.

"Hanya kamu? Yang lain mana? Ayo maju, cepat!"

Sungguh tatapan horor itu, ah dengan terpaksa murid yang lain mengikuti Luqaf yang sudah berdiri. Sebenarnya tidak semua yang mendapatkan nilai rendah, sepertinya hanya sekitar sembilan orang termasuk Andre, titisan Luqaf. Mereka seperti perangko, tidak bisa terpisahkan, selalu bersama sekalipun itu sedang melaksanakan hukuman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setitik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang