Disinilah laki-laki itu. Dikamar yang begitu luas bernuansa megah dan mewah padahal itu hanya sebuah kamar. Tapi sayangnya itu semua tidak membuatnya bahagia.
Dia tidak mau menunggu sang ayah yang tak kunjung pulang, padahal jam pulang kerja sudah lewat. Luqaf memilih melangkahkan kakinya kekamar setelah selesai makan. Ah, bukan makan malamnya yang selesai hanya saja anak itu yang kehilangan mood sehingga membuatnya menghentikan kegiatannya. Semuanya karena sang ayah.
Seketika ingatan itu datang menghampirinya lagi. Ingatan 10 tahun yang lalu.
"Mama! Mama mau kemana?" Seorang anak kecil terlihat tengah berlari menghampiri sang ibu yang menyeret koper ke arah pintu.
Sang ibu menoleh kepada sang anak ketika anaknya itu memanggilnya. Dia tersenyum lirih.
Anak itu memeluk mamanya dan berucap lirih, "Mama jangan pergi! Jangan tinggalin Luqaf sendiri, mah."
Mama memeluk erat anaknya, dan mengusap kepala sang anak, "Jangan sedih sayang, mama tidak pergi jauh. Mama hanya butuh sendiri, kamu jangan nakal ya, jangan ngelawan papa."
"Papa jahat sama kita, mah," seketika anak kecil laki-laki itu meneteskan air matanya.
Mama segera menghapus air mata Luqaf dan membelai pipinya. Tidak dapat dipungkiri, dia juga menangis, "papa hanya sibuk kerja sayang, papa tidak jahat." Sang ibu yang sudah dibanjiri air mata mencoba menghibur anaknya.
Sang ayah hanya menatap istri dan anaknya. Menatap dengan tatapan kosong. Tidak ada sama sekali niat untuk mencegah istrinya untuk tidak pergi, tidak ada sama sekali rasa bersalah kepada keluarganya, dan tidak ada sama sekali niatan untuk meminta maaf.
"Aku sayang mama."
"Mama juga sayang Luqaf."
Ayah yang selalu sibuk bekerja. Ayah yang selalu mengabaikan keluarganya. Ayah yang selalu bersikap dingin dengannya. Sehingga semua itu membuat sang ibu... meninggalkan mereka.
Luqaf yang sedang terduduk dilantai, menyenderkan kepalanya di sisi ranjang, menatap langit-langit dengan kosong. Dan seketika anak itu meremat dadanya yang terasa sakit. Ketika mengingat akan ibunya, hatinya merasa sesak dan kepalanya pusing.
"Ma.. ma." Gumamnya pelan hingga nyaris tak terdengar, karena suaranya menghilang.
Anak itu menundukkan kepalanya, rematan di dadanya semakin kuat hingga membuat dadanya berkali-kali sakit.
"Aku rindu, ma."
-----o0o-----"Bun aku kekamar dulu ya, mau ngerjain PR."
Bunda mengangguk menjawab sambil mengaduk kopi untuk ayah. Lantas Fatimah nge lap tangannya dengan lap tangan yang menggantung dekat westafel. Tangannya basah bekas mencuci piring. Setelah itu, Fatimah segera berlalu dari sana dan menuju ke arah kamarnya.
Sebelumnya dia sempat melihat ayah yang sedang mengutak-atik laptopnya, sepertinya berurusan dengan pekerjaan, Fatimah tidak tau betul. Pandangannya berubah haluan ke arah Kak Yusuf. Anak itu menghembuskan napas jengah, lagi-lagi kakaknya itu uring-uringan disofa sambil memainkan game onlinenya.
"Yang mau punya kakak seperti Kak Yusuf, silakan jemput sekarang." Batin Fatimah-- adek laknat.
Fatimah dibuat kesal jadinya. Tapi gadis itu memilih tidak memperdulikan kakaknya. Lebih baik dia mengerjakan tugasnya. Tapi sebelum itu ia mengerjakan sholat isya dulu, karena sudah lewat 15 menitan yang lalu.
Setelah selesai sholat, anak itu mendudukkan dirinya dihadapan tumpukkan buku. Huh.. biodata dirinya? Baiklah dia harus mengisi identitas dirinya.
Baru sampai cita-cita yang ingin ia tulis yaitu dokter, dia malah berhenti menulis ketika handphone nya berbunyi yang ia letakan diatas meja, lebih tepatnya disamping tumpukkan bukunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setitik Cahaya
Teen Fiction"Sesuatu yang tampak baik belum tentu baik, dan sesuatu yang terlihat buruk belum tentu buruk." -Fatimah Adinda Safitri. "Aku membutuhkanmu untuk meraih cahaya itu walaupun hanya setitik, maka bantulah aku." - Luqaf Pramudya. . . Aku mengunggapkan p...