Jerry's
Aku berjalan menyusuri jalan sempit, meski terasa sulit.
Lebam-lebam di badanku, belum lagi memar di dahiku, serta bekas luka di ujung bibirku yang terasa perih memberatkan langkah untuk bergegas pergi menuju tempat kerjaku.
Badanku hancur, rasanya remuk. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Bahkan sekedar membeli obat untuk mengobati luka ini pun aku tidak mampu.
Ya... semenyedihkan itu diriku.
Aku tidak memiliki apapun. Jangankan harta, tempat tinggal pun aku tidak punya. Hidup berpindah-pindah dengan ibuku semenjak ayah... oh atau pria yang lebih layak kusebut bajingan itu, meninggalkan kami dengan tanpa belas kasihan. Membawa seluruh harta kami demi menikah dengan pelacurnya.
Ah! Mungkin wanita itu tidak layak kusebut pelacur, karena nyatanya perempuan itu bergelimang harta.
Meski aku dan ibuku berusaha untuk tetap bertahan hidup, namun kami tidak seoptimis itu. Kadang aku merasa lelah karena harus mengalami penderitaan ini di usiaku yang masih muda.
Seharusnya aku berada pada fase menikmati masa remajaku seperti anak seumuranku lainnya.
Tapi tidak.... nyatanya aku harus berjuang untuk menghidupi diriku dan juga ibuku.
Beban hidupku memang terasa berat, tetapi ibuku selalu mengajarkanku untuk tetap kuat dan selalu bersyukur.
Aku selalu mendengarkannya, tidak pernah sedikitpun membantahnya. Karena aku tahu, ibuku adalah sumber kehidupanku. Memilikinya dalam hidupku adalah anugerah terindah dan tidak pernah kusesali meski seberat apapun bebanku di dunia ini. Semuanya akan terasa lebih ringan saat bersamanya.
Namun hari ini, rasa syukur itu memudar. Berganti dengan kekecewaan tiada tara.
Luka ini, rasa perih, dan juga sakit ini, disebabkan oleh ibuku sendiri.
Meski aku tahu, ibu tidak bermaksud membuatku seperti ini, tapi aku kecewa karenanya.
Karena keputusan sepihaknya.
Tanpa sepengetahuanku, ibu meminjam uang dari rentenir untuk biaya sekolah serta biaya kehidupan kami selama ditinggal ayah. Karena uang yang ia hasilkan dari menjual kue tidaklah cukup. Ia pun selalu berbohong padaku bahwa ia baik-baik saja, padahal tidak... dan selalu kukuh melarangku untuk bekerja.
Yang tentu saja tidak aku setujui. Maka aku pun memilih untuk bekerja secara diam-diam. Setidaknya aku tidak perlu meminta uang untuk membeli keperluan sekolah.
Jujur saja, aku kecewa. Aku hanya ingin ibuku terbuka, jika ia memang mengalami kesulitan ekonomi, aku pasti akan membantunya sebisaku. Tidak seharusnya ia berpura-pura kuat agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Dan ya... memar-memar ini karena rentenir itu. Memaksa ibu untuk segera membayar hutang dan juga bunganya. Aku melawan, karena aku yakin ibu tidak akan melakukan hal itu di belakangku.
Tapi aku salah... aku begitu naif. Mereka memberikan bukti yang membuatku harus menahan amarah sedangkan ibu hanya bisa menangis karena menyesal.
Kedua tanganku terkepal, ingin sekali menghajarnya satu per satu. Tapi niat itu kuurungkan karena mengingat ibuku tak suka aku bermain kekerasan.
Mereka kembali membentak dan puncaknya mereka mendorong ibu yang berusaha untuk melindungiku.
Amarahku sudah tak bisa kubendung lagi.
Sudah cukup! Mereka boleh menghajarku tapi tidak dengan ibuku.
Kudorong tubuh mereka dan menghajarnya. Namun mereka justru memanggil bala bantuan dan mulai mengerumuniku. Ibu sudah berteriak bahkan memohon sambil berlutut agar mereka mau melepaskanku dan berjanji akan melunasi hutang kami segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS [Revisi]
Romance[Dalam tahap perbaikan] Aku menjual diriku untuk memenuhi keinginanmu. Lantas bisakah kau merelakanku pergi jika aku sudah tidak kau butuhkan lagi? -2020