Saat Harus Memilih (3)

210 9 0
                                    

Hidup berdua dengannya, aku menikmati kembali kisah ini, dari delapan tahun, bertambah menjadi sepuluh tahun. Dari hanya teman, hingga aku kenal makna mencintai dengan sangat dalam. Dia yang katanya sangat mencintaiku, mengajariku untuk bepikir bahwa cinta berarti memberikan segalanya.

Ada saat di mana semua sudut pandangku salah. Dia selalu memanipulasi keadaan, mengatakan bahwa aku salah dalam kisah ini, jika terus saja berusaha mencari yang lain. Padahal, ketika denganku, dia juga kerap menikmati kisah bersama wanita lain.

Salahku yang terlalu memercayainya. Salahku yang terlalu bergantung padanya. Hingga tak memiliki celah untuk mencintai diriku sendiri, dan lepas dari genggaman keras cintanya.

Hingga kembali Tuhan hadirkan sebuah pilihan. Saat aku dan dia mengunjungi Jogja untuk berlibur. Tahun itu, aku seperti tak ingin pulang. Aku selalu ingin bersamanya, merasa tenang, disayang, meski tak jarang tamparan melayang.

Aku bertemu dengan lelaki penuh kebijaksanaan. Aku tertarik dengan cara berpikirnya. Aku menikmati suaranya saat bernyanyi dan aku suka ketika kami sama-sama membahas sebuah buku. Semakin jauh aku mengenalnya, semakin aku sadar; diriku tak pernah pantas mendapatkan sosok baik sesuai keinginanku. Ternyata dia jauh lebih buruk. Dia hanya menginginkan tubuhku, bukan hatiku. Dia hanya memerlukanku saat sepi, bukannya ingin menemani.

Lagi, aku harus menceritakan ini dengan lelaki yang terus membanggakan dirinya saat aku kembali dari berkelana. Dia memelukku, menenangkan tangisku, dan berkata; bahwa hanya dirinyalah yang mampu membuatku bahagia. Hanya dia yang pantas memilikiku, bukan orang lain.

Tertegun, dalam tangisan tak berdaya, aku menyadari bahwa setiap aku kembali, aku sedang memberikannya kekuatan untuk memperlakukanku sesuka hatinya (lagi). Entah apa yang kupikirkan saat itu, tanpa memberitahunya; aku pergi.

Menutup semua akses komunikasi dan melepas tekanan yang diberikannya. Aku benar-benar lepas, dari yang katanya cinta, dari yang katanya melindungi. Aku bebas.

Dia tak bisa menamparku lagi, tak bisa memakiku kembali, dan tidak bisa memaksa apa pun lagi. Aku benar-benar bebas. Ini, yang akhirnya aku pilih. Sebab aku tahu, kembali padanya hanya akan menambah beban derita di kepala.

Aku tahu dia mencintaiku, tapi caranya salah. Aku tahu dia sangat ingin melindungiku, tapi caranya tak membuatku merasa diinginkan.

Setelah kebebasan. Aku berdiri di kakiku sendiri. Saat luka, aku tak mancarinya. Saat sedih, tak memiliki tempat berlindung, aku lebih baik sendiri, daripada kembali ke tempat yang kerap membuatku seperti boneka mainannya.

Sekarang, aku bebas. Itu menyenangkan.

UNTUKMU YANG BERGELAR WANITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang