Di sudut jalanan kota, tersimpan begitu banyak kesedihan dan kesenangan. Siluet senja kemerah-merahan menyelimuti gedung-gedung tinggi yang menjulang. Namun, dari arah utara nampak awan kelabu seperti pertanda hujan akan turun. Langkahku kembali berjalan setelah berhenti sejenak menatap rumah makan itu. Rumah makan yang sekarang sudah banyak perubahan, sudah berlantai 2, dan ada hiasan pohon di depannya. Mungkin anak-anak jalanan sudah tak bisa lagi mengecrek botol disana.
Masih berjalan di atas trotoar, aku menuju jalan layang yang berada di depan sana. Jalan layang itu menjadi tempat yang amat penting dalam hidupku. Aku bisa berlama-lama disana hanya untuk menunggu tenggelamnya matahari, lampu-lampu jalan menyala serempak, dan lampu-lampu kendaraan juga seperti berkedip-kedip dari atas sini. Bagiku, itu sungguh indah. Aku tak mampu membayangkan seperti apa rasanya menaiki mobil-mobil mewah itu, atau bagaimana cara menyalakan lampu-lampu itu.
Aku mengecek jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Besok adalah hari bahagiaku, mungkin. Wisuda sarjana Ilmu Ekonomi. Aku tak tahu apakah akan ada kebahagiaan. Sebelum menghadapi hari esok, aku ingin selesai dengan kesedihan ini, dan menggantinya dengan beribu-ribu penerimaan. Ya, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Hello, aku Hani, Hanifah Salsabila. Walaupun aku tak tahu apakah benar itu nama asliku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir, Waktu, dan Penerimaan
Художественная прозаTakdir tak selamanya tentang waktu. Waktu tak selamanya tentang menunggu. Tapi, takdir dan waktu memaksa kita untuk bisa memahami arti sebuah penerimaan.