"Hani, bangun! Ibu menyuruh kita keluar! Ayo cepat!" Kak Dina berbisik sambil menepok-nepok pundakku. Aku seketika terbangun, membereskan bantal hijauku agar tetap aman. "Hani, jika nanti Ibu bertanya sesuatu, jawablah dengan jujur. Ini genting sekali." Kak Dina terlihat panik. Aku menelan ludah. Ada apalagi ini. Aku tak bisa menduga apapun. Bukankah semalam baik-baik saja?
Aku dan Kak Dina bergegas keluar, menuju pohon rindang di depan rumah kardus kami, mungkin jaraknya sekitar 5 meter. Disana sudah ada Kak Bayu yang berdiri, kepalanya menunduk. Aku dan Kak Dina menyusul di sampingnya. Hatiku masih bertanya-tanya. Kak Bayu diam saja, kenapa?
Ayolah bicara sesuatu. Kepalaku mendongak ke arahnya. Kak Bayu masih juga terdiam. Aku perhatikan lagi, pipi kirinya merah. Aku menarik napas panjang. Apakah ia sedang menahan sakit? Ya Tuhan, aku sama sekali tidak mengerti. Jantungku berdetak hebat. Ibu berjalan menghampiri kami, membawa sebatang kayu panjang di tangan kanannya.
"Apakah Ibu akan memukul kami dengan kayu itu?" tanyaku dalam hati. Suasana pagi ini lebih menyeramkan dari sebelumnya. Kak Bayu hanya diam, Kak Dina hanya memejamkan matanya, dan aku seperti mau menangis saja. Kami bertiga berdiri sejajar, masih dengan pakaian kemarin, dan tidak ada yang namanya mandi, apalagi sisiran.
"Kalian tahu mengapa Ibu mengumpulkan kalian disini?" tanya Ibu dengan teriakan khasnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Melirik-lirik ke arah Kak Bayu, dan dia masih juga diam saja. Ibu melotot kepadaku, kemudian menghampiriku. Ia memegang daguku, pelan, lalu tersenyum tipis. Aku mengingat kata-kata Kak Dina tadi. Jika ibu bertanya sesuatu, jawablah jujur.
"Apakah kamu berani mencuri barang-barang milik ibu?" tanya Ibu kepadaku. Suaranya pelan, aku sangat tidak terbiasa dengan ini. Ibu lebih menyeramkan dari biasanya, "Tidak, Ibu." Jawabku lirih. Sungguh, aku lebih baik berlama-lama di jalanan, daripada berhadap-hadapan dengan Ibu seperti ini. "Bagus, Hani." Ibu mengusap-usap kepalaku. "Ibu tahu kamu anak paling kecil, belum mengerti apapun tentang dunia ini." Lanjutnya.
Kemudian Ibu berjalan beberapa langkah menuju Kak Dina, melewati Kak Bayu yang berada di tengah. Tangan kanannya masih memegang sebatang kayu. Aku tidak berani menengok, aku tidak berani. "Dina, kamu sudah cukup besar sekarang, usiamu 9 tahun, bukan?" suara Ibu terdengar sangat jelas, karena kami tidak saling berjauhan. "Walau kulitmu hitam, rambutmu ikal, banyak kutu, Ibu tak pernah melihatmu berbuat kesalahan besar, bukan begitu?" lanjutnya. "Tapi, jujurlah sekarang, apakah kamu mencuri barang milik Ibu?" lanjutnya lagi.
Suasana hening, Kak Dina hanya diam saja. Ayolah kak, bicara sesuatu. Aku tahu dia hanya panik saja. Kali ini aku memberanikan diri untuk menengok ke arahnya. Semakin lama dia terdiam, sesuatu yang lebih parah mungkin akan terjadi. Beberapa detik berlalu, tangan ibu mencengkram kedua pipi Kak Dina. "Jawab!" Ibu teriak lagi, tepat di depan wajahnya. Lingkungan rumah kami disini memang tidak terlalu sepi, ada rumah-rumah kardus lain yang menetap. Tapi, sekeras apapun teriakan ibu, tidak akan ada yang menghiraukannya, karena Ibu sudah seperti orang yang paling ditakuti.
"Ti.. tidak.. Ibu. Aku tidak mencuri apapun." akhirnya Ia menjawab dengan terbata-bata. Aku menarik napas lega. Ibu melepaskan cengkramannya dengan kasar.
Aku melirik lagi ke arah Kak Bayu, dia masih juga terdiam tanpa menengok sedikitpun ke arahku. Tiba-tiba tangan kirinya memasukkan sesuatu ke kantong celanaku, dengan kecepatan kilat. Aku terkaget, tak berani memeriksa kantongku. Semoga Ibu tidak melihatnya. Ibu berjalan dua langkah menuju Kak Bayu, lalu mundur sedikit agak jauh dari kami. Aku yakin Kak Bayu tidak mungkin berniat jahat kepadaku.
"Kalian tahu kenapa pipi Kak Bayu-kalian ini merah?" Ibu bertanya lagi dengan teriakan itu, sungguh sebuah pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab oleh kami. "Usianya paling besar diantara kalian, Ibu pun tahu dia anak yang pintar, sudah mengerti bagaimana dunia ini berjalan." lanjutnya. "Sampai ditampar seperti ini pun, dia tetap tidak mau mengakui kesalahan." lanjutnya lagi. Aku menarik napas panjang untuk kesekian kalinya.
Pagi ini terasa begitu lama. Mungkin hari ini kami benar-benar harus tidur di luar. "Ibu akan memberitahu adik-adikmu ini ya, Bayu." Ibu masih meneruskan pembicaraannya. "Kalian tahu tidak!? Ada yang berusaha memindahkan tas ibu yang tergantung di dinding rumah kardus kita yang kumuh ini. Tapi, ibu tak tahu siapa dia, dan mau apa dia dengan tas Ibu." Aku hanya menunduk dan berdoa supaya keadaan ini cepat berakhir. "Siapa yang bisa menjangkau tas yang tergantung di atas sana? Siapa lagi kalau bukan yang tertinggi diantara kalian? Hah!?" lanjutnya lagi. Ibu terdengar sangat marah sekali. Ada apa memangnya di tas ibu? Uang?
Tidak mungkin Kak Bayu yang mencuri uang. Walau kami anak jalanan, kami tak pernah mencuri uang. Ibu lantas menghampiri Kak Bayu, merogoh kantung celananya, dan tidak menemukan apa-apa. Aku hanya berharap Ibu tidak mengecek kantung celanaku. Ibu lagi-lagi menampar pipi kiri Kak Bayu. Lantas pergi meninggalkan kami.
"Au.. sakit sekali." Kak Bayu mengaduh, memegang pipi kirinya. Aku dan Kak Dina menatapnya heran. "Aku tidak apa-apa. Nanti aku ceritakan ya." Wajahnya tidak seperti ada penyesalan, atau sedih sedikitpun. "Ayo kita kembali mengecrek botol, Hani. Juga memainkan suling kesayanganmu, Dina, tentu saja." Ajaknya penuh semangat. Aku dan Kak Dina masih terheran. "Oh ya, Hani, jaga kantong celanamu baik-baik. Hari ini kita akan berlama-lama di rumah makan 94 ya." lanjutnya lagi.
Aku harus jaga baik-baik kantung celanaku. Rasanya ini seperti sebuah misi rahasia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir, Waktu, dan Penerimaan
Ficción GeneralTakdir tak selamanya tentang waktu. Waktu tak selamanya tentang menunggu. Tapi, takdir dan waktu memaksa kita untuk bisa memahami arti sebuah penerimaan.