Rumah Kardus

123 8 2
                                    


Di sebrang sana, tempat muara kesedihan bagiku. Rasa sakit, dingin, bahkan lapar adalah hal yang selalu aku rasakan hampir setiap hari. Di seberang sana juga menjadi memori menyakitkan bagiku, besar di lingkungan kumuh, di kelilingi sampah, dan tidur di rumah kardus, tak jarang aku diusili oleh para preman-preman itu.

Malam itu, hujan turun begitu deras. Angin kencang di sertai petir dan kilat. Tak ada barang yang harus aku amankan, karena memang tidak ada yang berharga selain diriku sendiri. Aku tinggal bersama anak-anak jalanan yang lain, dan sesorang yang aku sebut Ibu. Rumah kardus kami termasuk yang paling kuat di sini, walaupun masih tampias juga. Saat itu usiaku 7 tahun. Dan ibu selalu bilang, kamu lahir ditempat sampah! Jangan pernah mengkhayal menjadi orang kaya!

Seseorang yang aku sebut Ibu itu setiap hari selalu marah-marah. Aku seringkali dijewer, dijambak, ditampar, bahkan aku pernah di biarkan di luar, tidur beralaskan sampah, bersama dinginnya angin malam dan bau sampah yang sudah tidak terasa lagi baunya bagiku. Usiaku yang masih kecil itu hanya berpikir keadaan ini tidak mungkin berlangsung lama, besok juga ibu sudah tidak marah lagi.

Hujan masih deras, namun suara petir yang bergumuruh semakin lenyap. Aku masih berada di pojok rumah kardus ini, menatap ember yang berada di depanku, menunggu tetesan air yang bocor sampai penuh. Biasanya, ketika hujan seperti ini aku memang ditugaskan menjaga ember, kak Bayu melapisi atap dengan plastik, dan kak Dina mengamankan barang-barang kami; kecrekan botol, gitar plastik, dan suling bekas yang dia temukan di rongsokan.

Kak Dina dan Kak Bayu tinggal bersamaku di rumah kardus ini, juga ibu yang sering marah-marah kepada kami. Walau aku tak yakin apakah mereka memang benar kakak kandungku. Kak Dina berusia 9 tahun, dan kak Bayu 10 tahun. Kalau kehidupan tak kejam seperti ini, mungkin kami sedang duduk di sekolah dasar seperti anak-anak yang lainnya.

"Hani! Embernya sudah penuh!" Aku terkaget. Teriakan itu selalu terngiang ditelingaku, dan kali ini aku tertidur cukup pulas sampai tidak sadar bahwa ember itu sudah penuh air. Aku bergegas bangun, membuka mataku lebar-lebar. Ya Tuhan, sungguh aku masih mengantuk. Segera aku bawa ember itu keluar. Aku tidak pernah kenal dengan waktu, yang aku tahu matahari terbit dan terbenam, matahari terbit tanda kami harus keluar mencari uang, dan matahari terbenam tanda kami sudah harus pulang.

Udara di luar sangat dingin, hujan sudah hampir berhenti tapi angin masih menari-nari. Aku menatap langit sejenak, biarkan saja udara dingin menusuk tubuhku. Di usia saat ini aku sudah bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan, rasa sakit, bahkan lelah. Huh, aku terduduk di depan rumah kardus ini, beralaskan plastik sampah, sambil menatap langit malam. Tak lama terdengar suara seperti benda jatuh, "Sreekk.." aku langsung menoleh ke arah kiri kemudian ke kanan. Aku pikir ada benda jatuh dari langit, ternyata kak Bayu yang juga tertidur pulas menggunakan jas hujan plastik bekas, tubuhnya ambruk ke kiri. Ia pasti menunggu penutup plastik atap kami agar tidak terbang.

Aku langsung menghampirinya. "Kak Bayu.. Kak.. Bangun kak.." aku pegang pundaknya, aku tarik ke atas agar tegap kembali. Rupanya kak Bayu langsung terbangun. Menyeka ujung matanya yang memerah, dia kelelahan sekali. "Kamu sedang apa?" tanya kak Bayu. "Aku habis membuang air bocor, tak lama terdengar kak Bayu ambruk, ketiduran ya?" kataku. Tangannya dingin sekali. Dia pasti hujan-hujanan dari tadi. "Ke dalam yuk kak, diluar dingin." kataku. "Bukankah udara dingin ini sudah bersahabat dengan kita?" Jawabnya membuatku tak bisa berkata-kata lagi. Pada akhirnya, aku ikut terduduk di sampingnya. Ya, udara dingin ini sudah menjadi sahabat kami.

"Kak, apakah hujan turun dari langit?" tanyaku.

"Iya Han, lebih tepatnya dari awan." Jawab kak Bayu dengan sangat yakin.

"Dari awan? Bagaimana bisa?" tanyaku penasaran.

"Aku pernah membaca buku yang di jual di pinggiran jalan ketika kita sedang mengamen, judulnya; Ilmu Pengetahuan Alam. Aku baru tahu bahwa hujan berasal dari penguapan air laut kemudian terbentuk menjadi awan hitam lalu ketika masanya sudah tiba, turunlah air hujan itu. Tapi, belum semua aku baca, aku di usir oleh penjaganya karena di kira mau maling. Lucu sekali." Jawabnya sedikit tertawa kecil. Aku sangat menyimak apa yang kak Bayu ucapkan. Pikiranku langsung menyimpulkan bahwa kak Bayu adalah orang pintar. "Tapi, mengapa hujan membuat bocor atap rumah kita?" tanyaku seketika. Wajahku berubah cemberut, daguku ku letakkan di atas lutut.

Kak Bayu tertawa terpingkal. "Bukan karen hujan, Hani. Tapi karena rumah kita sebagiannya terbuat dari kardus, kardus itu tidak tahan air." Aku memasang wajah tak mengerti. Kak Bayu mengusap-usap rambut pendekku, seperti kesal dengan wajahku yang tak mengerti. "Sudah masuk ke dalam, masih malam. Besok kamu harus kembali mengecrek botol." Ujarnya. "Kak Bayu kapan ke dalam?" tanyaku. "Nanti jika hujan sudah benar-benar reda." Jawabnya yakin. Aku beranjak masuk ke dalam.

Kak Dina sudah terlelap, kepalanya bertumpu pada bantal bekas. Rambut ikalnya sudah tak karuan, terkadang aku tak tahan sama bau rambutnya, banyak kutu, dan dia sama sekali tidak mau mandi hujan, lebih suka di kali yang airnya kecoklatan. Aku tersenyum kecil membayangkannya, padahal aku pun sama baunya. 

Takdir, Waktu, dan PenerimaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang