Kabar Baik?

53 4 1
                                    

Udara hari ini sangat sejuk. Semilir angin menggoyangkan pepohonan yang berada dipinggir jalan. Daun-daun yang basah meneteskan air sisa hujan tadi. Badan kami juga masih basah, walaupun sudah tidak kuyup. Kami baru merasakan semilir angin menusuk-nusuk seluruh badan kami. Dingin. Tak apa, yang penting kami membawa uang banyak hasil ojek payung tadi.

Papan nama Rumah Makan 94 sudah terlihat dari kejauhan, kami bertiga berlari kejar-kejaran untuk sampai kesana. Genangan air di jalan kami terobos saja tanpa ada rasa khawatir kecipratan. Karena memang itu tujuannya, saling ciprat-menyiprat. Kami tidak takut kotor, karena kami memang sudah tidak mandi dua hari ini.

Sampailah kami di depan Rumah Makan 94. Nafas kami terengah-engah. Kami duduk sebentar di kursi depan. Di dalam hanya ada dua sampai tiga pelanggan. Lumayan sepi. Tapi, tak apa, kami bisa bercerita dengan Mas Wisnu lebih tenang, tidak ada gangguan pelanggan yang hendak membayar.

"Mereka yang sering mengamen disini, kan?" Pelanggan di dalam berbisik sampai terdengar keluar. Itu sih bukan berbisik namanya.

"Iya, masih kecil-kecil ya, kasihan." Saut pelanggan yang lain.

"Orang tuanya kemana ya, sampai tega menelantarkan anak." Saut pelanggan yang lain.

"Mereka sudah seperti adik saya sendiri, Mas.. Mba.." kata seseorang dari dalam yang sedang berjalan menghampiri pintu masuk.

"Walaupun dekil, bau, kutuan, dan hanya bisa mengamen, tapi mereka adalah anak-anak baik yang akan memiliki masa depan yang lebih baik." Lanjutnya.

"Sini Bayu, Dina, dan tentu saja si imut, Hani. Sini, masuk! Sedang apa diluar saja? Angin lumayan kencang. Dingin." kata seseorang itu. Tentu saja dia adalah Mas Wisnu.

Kami berjalan masuk, dengan pakaian yang masih basah, juga di lengkapi senyum manis tanpa rasa lelah. Berjalan masuk menuju Mas Wisnu, kemudian kami memeluknya. Pelukan itu sungguh menghangatkan. Mas Wisnu mengelus-elus kepala kami.

"Dari mana saja jam segini baru datang? Sudah hampir sore. Sisa kaki ayam di belakang sudah menunggu untuk dihitung. Hehe, bercanda." kata Mas Wisnu.

"Dina hari ini dapat uang banyak, Mas." kata Kak Dina begitu semangat.

"Hani juga, Hani tadi hujan-hujanan, lho." kataku sumringah.

Kami bertiga saling melontarkan cerita sambil berjalan masuk ke dalam, menuju meja kasir. Mas Wisnu selalu menanggapi cerita kami satu per satu.

Seperti biasa, kami duduk di sebalah kanan dan kiri Mas Wisnu, di depan meja kasir.

"Bagaimana cerita hari ini?"

"Mas Wisnu tahu tidak? Tadi Budi hampir mengambil uang kita." kataku.

"Sebentar.. Budi? Budi itu siapa?"

"Budi itu anak jalanan yang suka jail, Mas." Kak Bayu menimpali.

"Iya, Mas. Budi juga pernah buang bantal hijauku ke kolong jalan layang."

"Bantal hijau kesayangan Hani?"

"Iya."

"Terus.." Mas Wisnu penasaran.

"Terus Budi dijewer sama bapaknya sendiri.. Haha.." Kak Bayu tertawa lebar.

"Lho, kok bisa?"

"Jadi, ternyata bapaknya Budi itu tukang parkir di terminal. Kata Budi, bapaknya yang menguasai terminal itu, jadi kita harus kasih uang ke dia." Kak Bayu mencoba menjelaskan.

Mas Wisnu tertawa lebar.

"Budi kurang cantik mainnya." lanjut Mas Wisnu.

"Kurang cantik? Budi kan laki-laki, masa cantik." kataku polos.

Takdir, Waktu, dan PenerimaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang