Senja dan Kaki Gunung

76 7 1
                                    

Kafe,
Pukul 19.30

Pesananku sudah datang dari 15 menit lalu, bersamaan dengan hujan yang turun. Orang-orang datang dan pergi, ada yang sendirian, ada yang berdua, ada yang ramai-ramai. Mereka asyik sekali berbincang-bincang, juga ada yang asyik dengan ponselnya.

"Cekrek! Cekrek!" Orang di meja sebelah kanan sedang berfoto-foto. Tidak hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali dengan gaya yang sama. Eh, tidak juga sih, kadang satu jari di dagu, dua jari di samping telinga, bahkan ada yang mengeluarkan sedikit lidah sambil menyipitkan satu matanya.

Orang-orang bebas mengekspresikan kebahagiannya, tapi untuk yang seperti itu, aku cukup terhibur, tertawa dalam hati. Asal mereka tahu bahwa ada yang lamat-lamat memperhatikan pose mereka, pasti malu sekali. Lantas berpura-pura mematikan ponsel dan berkata ke temannya, "Eh, masa mbak-mbak yang itu tadi ngeliatin, ih gue malu banget. Wkwkwk." Lalu temannya menjawab, "Lagian lu alay banget. Wkwkwk"

Aku kembali menyantap pesananku. Suara hujan mampu mengalahkan instrumen musik di kafe ini. Lebat. Apakah kalian tahu aku juga sedang menunggu seseorang? Mungkin saja.

---

"Bidan Nurma, Komplek Cemara, Yogyakarta.." Kak Bayu berkali-kali mengatakan hal itu sepanjang perjalanan pulang.

"Yogyakarta..." katanya lagi.

Kak Bayu masih menatap ke depan, lebih tepatnya menatap langit yang sudah menjelang senja. "Kata Mas Wisnu kita harus naik kereta selama 8 jam, Hani."

Kak Dina masih asyik menggaruk-garuk kepala, mungkin kutunya sedang berpesta ria karena habis makan banyak-eh apa hubungannya.

"Kak Bayu, apakah kita akan ke Yogyakarta? Buat apa?" Aku memang tak mengerti.

Suasana jalanan cukup ramai dengan kendaraan. Ini adalah jam pulang kerja. Bunyi klakson sahut-sahutan. Tak bisakah mereka bersabar dengan keadaan? Bukan apa-apa, terkadang suara kami tidak terdengar jelas saat bernyanyi, pun suara kecrekan botol, gitar plastik, apalagi suling-yang sebetulnya tak beriirama.

Jalan layang itu semakin terlihat, kami berlari kejar-kejaran. Jika Kak Bayu kalah, maka dia harus rela menggendongku untuk melihat senja. Jika aku kalah, maka aku hanya akan melihatnya dari sela-sela pagar beton itu.

"Ayo, Hani! Kejar aku!" Kak Bayu berteriak.

"Cepat, Hani!" Kak Dina juga berteriak.

Sedikit lagi, kataku dalam hati.

Beberapa pengendara motor di jalan meneriaki kami. "Hey, jangan lari-larian!" Aku tak peduli.

Dengan napas terengah-engah, kakiku sampai di titik terindah, tengah-tengah. Bukan tengah jalan, tapi tengah pinggir-eh bagaimana sih menjelaskannya. Pokoknya tengah-tengah. Aku bisa melihat jalan raya yang ada di bawah dengan jelas dari sini.

"Hani, bisa-bisanya kamu.. sampai dahulu.. daripada aku..." Napas Kak Bayu tersengal, badannya sampai membungkuk, lalu mendongak ke arahku, tersenyum.

"Sini aku gendong."

Wajahku sumringah. Kak Dina baru sampai ketika aku sudah berada di atas pundak Kak Bayu.

"Apakah kamu bahagia, Hani?" Kak Bayu berbisik.

"Iya." Kataku.

Siluet senja begitu sempurna. Tidak ada awan gelap. Cahaya matahari yang tersisa menembus awan-awan putih itu. Warnanya oranye, cantik sekali.

Senyumku perlahan menghilang ketika mengingat cerita Kak Bayu di rumah makan 94 tadi.

"Apakah betul aku bukan anak ibu, kak?"

Takdir, Waktu, dan PenerimaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang