Matahari telah terbenam, tak sadar sudah cukup lama aku berdiam di atas sini. Setidaknya, setelah seharian menunggu hal yang tak pasti, aku ingin membuat diriku bahagia. Aku bergegas meninggalkan jalan layang ini, menunggu angkot biru yang sudah lama tidak aku naiki. Sambil melambaikan tangan, angkot biru itu pun berhenti. Aku duduk di belakang supir, tepat dibelakangnya. Supir angkot itu sepertinya sudah usia lanjut. Dan aku kembali mengingat sesuatu. Belum aku berhasil mengingat siapa bapak-bapak ini. Si bapak sudah lebih dahulu menegurku.
"Neng.. kaya kenal." Si bapak itu melihatku dari spion depan. Matanya telihat amat letih, keringatnya mengalir ke dahi, kemudian ke pelipis matanya. Sesekali keringatnya itu diusap dengan handuk yang ada dilehernya. Udara ibu kota memang panas, tapi aku rasa keringat itu amat berharga. Aku hanya membalas ucapan si bapak dengan senyuman, dan sedikit penasaran. "Memang iya pak? Saya lupa. Hehe" kemudian si bapak kembali menjawab. "Muka neng mirip seperti anak yang dulu pernah nolong bapak.. 15 tahun lalu.."
Mata si Bapak masih melirik-lirik ke arahku dari kaca spion. "Ketika angkot ini mogok karena bensin habis, dan uang hasil angkot bapak hari itu dipalak sama preman neng, habis tidak tersisa, lalu anak perempuan itu datang menghampiri bapak, ngasih bapak uang 15 ribu, mungkin itu satu-satunya uang yang dia miliki.. bapak gak pernah lupa dengan kejadian itu." lanjutnya.
Aku menyimak dengan baik cerita si bapak. Lantas berpikir, mengapa harus ada yang namanya preman? tidakkah waktu itu mereka berpikir, bagaimana nasib si bapak ini jika kehilangan semua uang yang ia dapat hari itu? bagaimana jika si bapak harus menyetor ke bos angkot kemudian dimarahi karena tak ada sepeserpun uang? bagaimana jika si bapak ini punya anak dan isteri yang sedang menunggu di rumah hanya untuk mendapat sedikit kebaikan dari kehidupan jalanan?
"Tapi alhamdulillah neng.. Uang 15 ribu itu bisa bapak belikan bensin 5 ribu, dan bapak setorkan setengah dari sisanya. Walau bos bapak sedikit marah, setidaknya ada bagian yang disetorkan, dan uang setengahnya lagi bisa bapak belikan nasi dan lauk untuk anak isteri." lanjutnya lagi.
Aku tertegun. 15 tahun lalu, uang 5 ribu mungkin hanya bisa membeli lauk telur atau tempe. Mataku hampir berkaca-kaca. Tangan si bapak masih sibuk menarik dan mendorong gigi mobil, pandangannya fokus kedepan, sesekali kepalanya menoleh, menyapa orang yang ia kenal di warung pinggiran jalan, kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya, "Begitulah neng, namanya juga hidup, ada aja cobaannya, ada aja orang jahat, tapi bapak percaya, selalu ada orang baik disekililing kita, seperti anak perempuan itu." Aku tersenyum tipis, ya betul, selalu ada orang baik, kataku dalam hati.
Katanya anak perempuan itu mirip denganku, aku masih mengingat-ingat, ah aku hanya ingat sedikit, tapi aku tak yakin. Aku mendongak ke arah depan, Aku akan berhenti di cafe depan sana, sebentar lagi sampai. Uang untuk bayar sudah aku siapkan, "Pak, kiri pak, saya berhenti disini.." Sambil menyodorkan uang, aku bertanya, hanya untuk mencari peluang agar yakin dengan perkataan Si Bapak. "Apa bapak sempat berkenalan dengan anak itu?"
"Kalau saya tidak salah, namanya Hani." Jawab bapak dengan sangat yakin. Tatapanku kosong sejenak. Hani? Ah, di dunia ini ada banyak nama Hani. Setelah mengucap terima kasih, lantas aku beranjak turun dari angkot tersebut.
----
Baik, sudah lama sekali aku tidak kesini. Tempat yang dahulu bukanlah cafe, melainkan rumah-rumah kumuh yang tinggal menunggu waktu kapan akan digusur. Rumah-rumah yang orang lain tak pernah mau berkunjung kesini, melirik pun tidak. Langkahku berjalan memasuki cafe tersebut mencari tempat duduk ternyaman, dekat jendela, agar aku bisa menatap ke seberang sana. Adzan maghrib berkumandang di cafe ini, suaranya terdengar ke seluruh ruangan, mungkin pemiliknya orang yang religius. Banyak tertempel kutipan-kutipan islami di dinding ruangan ini. Read Basmalah before You Eat. Say Alhamdulillah for Everything We Have, dan masih banyak lagi.
Para pengunjung pun bergegas menuju musholla, mungkin bergantian saja dengan kawannya. Kebetulan aku sedang tidak sholat. Pelayan cafe menghampiriku, menanyakan menu apa yang mau aku pesan. "Assalamu'alaykum mbak, permisi.. mau pesan apa? Menunya bisa di cek disini." Aku terkejut, tidak biasanya cafe seperti ini, melayani dengan mengucap salam terlebih dahulu, maksudku, biasanya hanya pakai sapaan waktu saja. Pelayan itu ramah sekali, selalu tersenyum, mungkin memang harus seperti itu. Tapi, ini berbeda, auranya sangat menyentuh.
Ah, aku kembali menarik napas panjang. Kalian tahu mengapa aku ingin duduk dekat jendela, dan menatap ke seberang sana? Semoga malam ini benar-benar menjadi penerimaan yang tiada berbekas sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir, Waktu, dan Penerimaan
Ficción GeneralTakdir tak selamanya tentang waktu. Waktu tak selamanya tentang menunggu. Tapi, takdir dan waktu memaksa kita untuk bisa memahami arti sebuah penerimaan.