Rumah Makan 94 (Bagian 2)

63 7 4
                                    

"Hey, kalian!" terdengar suara teriakan dari dalam. Kami menengok serempak.

"Kalian sedang apa berdiri saja disana? Sini masuk, cucian piring menumpuk." Teriak Mas Wisnu dari dalam. Lantas kami pun berlari ke dalam, sudah tidak sabar.

Kalian tahu mengapa rumah makan ini bernama "Rumah Makan 94"? Ternyata sederhana saja. Sembilan empat, tanggal sembilan, bulan empat, hari lahirnya Mas Wisnu. Beliau mendirikan rumah makan ini sudah hampir 4 tahun lalu, saat usia Kak Bayu masih 6 tahun. Dua tahun setelah krisis moneter 1998. Mas Wisnu banyak bercerita tentang kejadian itu, tapi bukan itu yang akan kita bicarakan kali ini.

"Sudah berapa hari kalian tidak main kesini? Sampai ada pengunjung yang rindu dengan suara indahmu, Bayu." kata Mas Wisnu yang masih sibuk dengan kertas-kertas bon pembelian bahan makanan.

Rumah makan ini cukup luas, ada enam meja dengan masing-masing empat kursi, ada televisi, kipas angin dan satu toilet kecil. Ada satu meja lagi, paling belakang, tempat kasir sekaligus tempat dimana biasanya kami menemui Mas Wisnu. Di sebelah kiri kasir ada sebuah pintu, jika kalian masuk ke dalam sana, maka perut kalian seketika lapar. Karena, ruangan itu adalah dapur dan tempat menyimpan bahan-bahan makanan. Disanalah tempat kami mencuci piring dan menghitung jumlah sisa kaki ayam.

"Mungkin sekitar seminggu, Mas." Jawab Kak Bayu.

"Bagaimana kabar kalian?" Mas Wisnu bertanya lagi.

"Baik, tapi keadaan pagi tadi tidak baik, Mas." Jawab Kak Bayu

"Ibu makin menyeramkan, Mas." Kak Dina menimpali. Aku hanya manggut-manggut.

"Sebentar, bukankah Ibu kalian memang seperti itu?"

"Tapi hari ini sangat berbeda." Jawabku.

"Kok bisa?" tanya Mas Wisnu sambil melayani pelanggan yang ingin membayar.

"Mie ayam 2 porsi dan 1 es teh manis," kata pelanggan yang menghampiri kasir.

"12.000." kata Mas Wisnu. Pelanggan tersebut menyodorkan uang lantas balik kanan pergi.

"Aku mengambil sesuatu di dalam tas ibu." Lanjut kak Bayu. Dia tertawa kecil.

"Apa?!" Mas Wisnu kaget. Suaranya kencang sekali sampai pelanggan di depan menengok ke belakang.

Aku sampai lupa sesuatu itu ada di kantong celanaku.

"Jangan marah, Mas. Aku bisa jelaskan." Kata Kak Bayu yang hampir panik, takut dimarahi Mas Wisnu karena mencuri.

"Eeeh, siapa yang marah? Aku hanya penasaran bagaimana bisa kamu tidak main cantik sampai ketahuan oleh ibumu, hah?"

"Lagipula, aku yakin kamu anak baik, tidak mungkin mencuri uang, bukan?"

Kak Bayu tersenyum lebar.

"Aku lupa menutup kembali tas-nya. Jadilah ibu curiga dengan kami." Jawab Kak Bayu.

"Lalu, apa yang kamu ambil?" tanya Mas Wisnu.

Pelanggan kembali datang ke kasir. "Satu pecel lele dan dua es jeruk."

"10.000."

"Pecel lele berapa?" tanya pelanggan tersebut.

"5.000."

"Mahal sekali. Di rumah makan sebelah hanya tiga ribu."

"Mbak, sebelum mbak masuk, menu dan harga sudah tertempel di mading depan, seharusnya tidak usah komplain lagi. Lagipula, harga lele sedang naik, dan nasi disini menggunakan beras bagus, bukan yang jelek."

"Kok mas nya malah marah-marah. Yasudah, ini uangnya." Pelanggan tersebut lantas pergi dengan ketus.

"Aneh. Budaya membaca semakin menurun saja. Begitulah jadinya." Mas Wisnu menggerutu. "Aku bukannya galak, tapi ayolah, bukankah orang-orang sebelum masuk ke rumah makan atau sebelum memesan sudah mengecek dulu berapa harga-harga menunya?" Aku manggut-manggut. Mas Wisnu menarik napas panjang.

"Jadi, sampai mana tadi ceritanya?"

"Belum mulai, Mas. Pelanggan-pelanggan Mas menganggu saja." Kata Kak Bayu, Mas Wisnu tertawa lebar.

"Baiklah, ayo mulai."

"Malam itu, ketika aku dan Hani hendak tidur setelah menunggu hujan reda, aku mendengar suara ibu pulang, tapi rasanya ibu tidak sendiri, seperti diantar oleh beberapa orang. Tapi, itu hal biasa. Ibu memang sering pulang larut malam, dan kami tidak tahu ibu kemana. Tidak berani juga untuk bertanya."

"Lalu.." Mas Wisnu menyimak.

"Lalu aku penasaran, aku mengintip dari sela-sela dinding kardus, menguping pembicaraan mereka." Aku, Kak Dina, dan Mas Wisnu semakin merapat, menatap Kak Bayu dengan seksama.

"Tapi, sayangnya aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan." Mas Wisnu mendengus, memundurkan kursinya. Aku dan Kak Dina menepok jidat. Kak Bayu malah menyeringai, hehe.

"Padahal mugkin itu penting sekali." Mas Wisnu menimpali.

"Tunggu dulu, tapi aku ingat salah satu orang yang bersama ibu malam itu." Aku, Kak Dina, dan Mas Wisnu kembali mendekat, menunggu lanjutan ceritanya.

"Mas.. mas.. bayar mas." Pelanggan kembali datang.

"Eh.. iya, Pak. Silakan." Mas Wisnu kaget, seketika berdiri.

Wajah Kak Bayu memelas, menarik napas panjang.

"Satu pecel ayam dan satu jus alpukat."

"12.000."

Pelanggan tersebut membayar lantas pergi. "Terimakasih.."

"Lanjut.. siapa orang itu?" Mas Wisnu kembali duduk dan mendekat.

"Aku ingat sekali orang itu yang bersama ibu ketika membawa bayi Hani." Kak Bayu menengok ke arahku. Aku tidak mengerti.

"Iya, Hani. Ibu membawa dirimu yang entah dari mana. Ibu tidak hamil, ibu tidak mengandungmu, tapi hari itu Ibu membawa dirimu yang masih bayi." Tatapanku kosong sejenak. Di usiaku yang sudah 7 tahun, aku bisa memahami bahwa ternyata aku bukanlah anak Ibu.

"Malam itu aku melihat orang itu lagi."

"Ini rumit. Lalu?" Mas Wisnu menimpali.

"Lalu ketika waktu hampir pagi, ketika ibu masih terlelap, aku mencoba menjangkau tas ibu yang tergantung di atas. Aku menemukan sebuah kertas fotokopi tanda pengenal, bukan KTP seperti punya Mas Wisnu, tapi ini seperti tanda pengenal bayi. Karena tertera nama bayi, berat badan dan panjangnya, juga nama lain lagi. Coba keluarkan, Hani. Tunjukkan kepada Mas Wisnu." Lanjut Kak Bayu.

Aku mengeluarkan gulungan kertas itu, Mas Wisnu menelan ludah.

"Aku tidak menyangka ini akan serius." Mas Wisnu menimpali.

"Hanifah S. 2800 gram, 40 cm, 3 Juni 1998. Anak dari Ibu Andin dan Pak.... Aduh, ini sudah luntur tidak jelas hurufnya." Mas Wisnu mengangkat-angkat kertas itu, mencari cahaya yang lebih terang.

"Apakah ini penting, Mas?" Kak Bayu ragu-ragu.

"Ini akan penting jika ada nama rumah bersalinnya."

Kak Bayu mencoba berpikir. "Coba di balik, Mas." Mas Wisnu membalik kertasnya.

"Ah, ini dia! Bidan Nurma, Komplek Cemara, Yogyakarta.... Aduh, jauh sekali."

Aku, Kak Dina, Kak Bayu memasang wajah kaget.

"Jauh sekali, Mas." Kak Bayu menimpali.

"Memangnya kamu tahu Yogyakarta dimana?"

Kami menggeleng. "Kalian harus naik kereta selama 8 jam untuk sampai kesana, belum lagi mencari alamat ini. Mungkin butuh waktu berhari-hari."

Mas Wisnu melihat jam, sudah pukul 16.00.

"Baiklah, kita lanjut besok atau lusa. Ini sudah sore, kalian belum mencuci piring dan menghitung jumlah sisa kaki ayam, bukan?"

Kami lantas memasuki pintu dapur, dan satu jam kemudian kami keluar, sudah selesai.

"Sudah selesai, Mas. Sisa kaki ayamnya sepuluh, lebih sedikit dari minggu lalu." Kak Dina melapor.

"Bagus. Kalian lapar, kan? Ayo, makan. Minta sana ke dapur sama Mas Arip sebanyak yang kalian mau. Tapi harus habis."

"Yeaaayy.." Kami bertiga berteriak bahagia.

Setelah makan, kami pamit. Mas Wisnu tersenyum tipis. "Jangan lupa melihat matahari terbenam!" katanya. 

Takdir, Waktu, dan PenerimaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang