Rumah Makan 94 (Bagian 1)

81 6 3
                                    

Matahari sudah tergilincir agak jauh, panasnya sudah terasa menyengat. Mungkin kami ketinggalan beberapa jam akibat insiden pagi ini. Sungguh tak ada hal yang lebih menakutkan daripada Ibu. Kami segera bergegas membawa benda pusaka kami; kecrekan botol, gitar plastik, dan suling bekas kesayangan Kak Dina. Sepertinya hari ini kami harus banyak mendapatkan uang, agar Ibu tak lagi marah.

Terminal bus masih menjadi titik awal kami. Perjalanan kesana membutuhkan waktu cukup lama, kami harus melewati sebuah sungai, menyebrang rel kereta, kemudian masih harus berjalan beberapa meter lagi. Sepanjang perjalanan tak banyak hal yang aku lakukan. Berbeda dengan Kak Bayu, setiap bertemu dengan tulisan apapun, langkahnya selalu terhenti untuk membaca tulisan-tulisan itu. Aku tak tahu bagaimana dia belajar membaca, tapi dia selalu membagikan apapun yang telah dia ketahui kepada kami, misalnya seperti menjelaskan penyebab terjadinya hujan, ketika aku bertanya padanya malam itu.

"Kalian tahu tidak? Kemana perginya air sungai ini?" tanya Kak Bayu ketika kami sampai di jembatan kecil yang berada di atas sungai.

"Air itu tidak pergi kak Bayu, tapi mengalir." jawab Kak Dina meledek.

"Maksudku, begitu, Dina. Kamu tahu tidak kemana air itu mengalir?" tanyanya lagi. Aku hanya terdiam dan mencoba berpikir.

"Tentu saja ke laut." jawab Kak Dina yakin dengan wajah sumringah. Kak Bayu terkaget, alisnya naik, seperti tidak percaya Kak Dina bisa menjawab pertanyaannya.

"Bagaimana kamu tahu?" Kak Bayu penasaran.

"Aku bisa membaca apa yang ada di pikiranmu loh, kak." Kak Dina semakin tertawa geli dan merasa menang hari ini. Kak Bayu kesal, kemudian memikirkan sesuatu.

"Oh begitu, baiklah. Coba tebak, apa nama lain dari nyamuk?" Kak Bayu menantang. Kali ini mungkin pertanyaan ngawur. Aku ikut berpikir. Nama lain dari nyamuk!?

"Memangnya ada? Tidak tahu." jawab Kak Dina cepat, mungkin dia sudah tidak bisa lagi membaca pikiran Kak Bayu, atau memang benar-benar tidak tahu.

"Aku pun tak tahu, apa kak?" tanyaku penasaran.

"Tatang..." jawab Kak Bayu dengan agak senyum-senyum.

"Tatang?" Aku dan Kak Dina serempak.

"Iya, tatang.. Tatang seekor nyamuk.... hap.. lalu di tangkap..." Lanjutnya makin tertawa lebar.

" Itu DATAAANG..!!" Kami berteriak kencang. Sejak kapan Kak Bayu belajar humor. Aneh. Lantas, kami pun tertawa bersama.

"Jadi, jawablah jujur pertanyaanku, Dina. Kamu tahu darimana air itu mengalir ke laut?" lanjutnya. Kak Dina menyeringai, lantas garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Itu, disana ada tulisannya. Air ini menuju ke laut, jangan buang sampah disini, nanti lautnya kotor! Masa Kak Bayu tidak lihat?" jawabnya dengan lantang. Aku tertawa lagi. Ternyata ada papan kecil yang menempel di pagar jembatan ini. Aku pun baru tahu kalau Kak Dina juga bisa membaca.

"Pantas saja. Mana bisa kau membaca pikiranku, Dina. Iya, air sungai ini mengalir ke laut. Tapi, sejatinya air itu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Darimana aku tahu? Aku pernah mendengar kakak-kakak berpakaian sekolah saling membicarakan tentang air. Tapi, masuk akal juga." jelasnya. Aku menganggukkan kepala.

Begitulah kebahagiaan anak jalanan ini, tercipta dari hal-hal sederhana. Sesederhana sebuah kebersamaan.

Kami melanjutkan perjalanan kembali, walau terik matahari menyelimuti langkah kami, semangat itu tak akan pernah berhenti. Menyeberangi rel kereta adalah salah satu hal yang membuat jantungku berdetak kencang. Karena memori menyeramkan itu selalu terngiang dalam ingatanku. Aku pernah melihat seseorang tertabrak kereta saat ia hendak menyeberang. Aku tak tahu persis bagaimana kronologinya, kejadiannya cepat sekali. Sangking cepatnya, jantungku hampir mau copot. Sejak kejadian itu, setiap kami hendak menyeberang, tanganku selalu menggenggam tangan Kak Bayu, dengan erat.

Sampailah kami di terminal bus, sudah agak sepi. Tapi tak mengapa, bus yang akan kami tumpangi selalu ada. Oh ya, aku masih tetap menjaga kantong celanaku. Di terminal bus ini, sudah banyak orang-orang yang kami kenal, salah satu yang sering kami sambangi adalah warung Pak Butar-butar. Dia orang batak, tentu saja, terlihat dari namanya. Dia selalu memberi kami permen, katanya agar mulut kami tidak bau saat sedang mengamen.

"Hai, Pak Butar.." teriak Kak Dina dari kejauhan. Dia memang agak akrab dengan Pak Butar-butar.

"Hey kau, rambut keriting, kenapa baru datang? Matahari sudah tak mau nampak, kalian baru datang.. darimana saja? Dimarahi mamak kau lagi kah?" tanya Pak Butar-butar, logatnya khas sekali.

"Sudah tahu kenapa bertanya." Kak Dina membalasnya. Kami duduk sebentar di warung Pak Butar-butar, lumayan untuk melepas lelah sejenak.

"Haha, masih banyak kutu kah rambut kau?" tanya Pak Butar-butar meledek. Aku hampir tertawa. Kak Dina menyeringai.

"Tak apa, dik. Kutu memang acapkali bersarang di rambut macam kau ni, apalagi kau jarang mandi. Senanglah kutu berlama-lama dalam hidupmu." Lanjutnya lagi. Pak Butar-butar memang suka sekali meledek, apalagi meledek Kak Dina.

"Tak apalah, aku jadi punya teman." Kak Dina menimpali. Aku dan Kak Bayu hanya tertawa mendengar celotehan mereka.

"Oh ya, sebelum kalian pergi, saya punya permen varian baru, rasa lemon. Cocok untuk mulut kalian yang baunya tak ada beda dengan bau kentut." Aku terawa lagi. Kak Dina malah sengaja meng-Hah-kan mulutnya ke tangannya sendiri, lantas menciumnya. "Tidak bau, Pak Butar. Harum sekali, mau coba?" Kak Dina kembali meledek.

"Makin kurang ajar kau ya.." Pak Butar-butar tertawa terpingkal.

Pak Butar selalu bisa mencairkan suasana. Ia sudah sangat lama berdagang di terminal ini. Logatnya yang khas amat bersahabat dengan orang-orang. Kami kembali melanjutkan perjalanan, menaiki bus yang akan melewati Rumah Makan 94. Beberapa lagu kami nyanyikan sepanjang perjalanan, penumpang datang dan pergi, recehan uang semakin bertambah. Syukurlah. Semoga bisa membayar insiden pagi tadi.

Hari ini akan menjadi hari yang teramat penting. Sebab, segala sesuatu yang akan terjadi ke depan berawal dari sini. "Hani, Dina, aku akan menceritakan kejadian pagi tadi nanti ya, ketika kita sampai di Rumah Makan 94. Kita tidak hanya bertiga kali ini, tapi berempat, dengan seseorang yang sudah sama-sama kita kenal. Aku pikir, kita akan membutuhkan bantuannya. Karena, di kantongmu itu Hani, sesuatu yang bisa membuka hal-hal rahasia lain yang tidak kita ketahui." Ujar Kak Bayu dalam bus yang sudah sebentar lagi akan sampai.

---

Tak lama akhirnya kami sampai juga, mungkin kami akan mengenyangkan perut dahulu. Langkah kami terhenti di papan mading yang terletak di teras rumah makan ini. Kak Bayu menyadari ada sebuah tulisan baru diantara koran-koran dan tempelan brosur. Mading ini memang sengaja disediakan oleh pemilik rumah makan ini untuk para pengunjung yang suka membaca.

9 April 2005

Menyusuri jalanan kota bukanlah sesuatu yang melelahkan. Mendengar klakson kendaraan, melihat orang berlalu lalang, atau melihat datangnya senja di jalan layang, adalah suatu kebahagiaan. Walaupun tetap ada saja hal yang tidak mengenakkan, bahkan menyakitkan. Wajar saja, kehidupan jalanan itu keras dan butuh pengorbanan.

Mungkin, menurut kalian, kehidupan anak jalanan begitu menyedihkan, tak menentu kapan mereka makan, atau dimana mereka tidur. Pasti kalian juga sempat berpikir, bahwa anak jalanan itu brandal, tidak berprilaku baik, atau tidak diterima oleh masyarakat pada umumnya. Tapi, ternyata tidak seperti itu juga. Dunia luar bagaikan suatu pembelajaran yang mungkin tidak kalian dapatkan di rumah-rumah kalian, di sekolah, atau dimanapun kaki kalian berpijak.

Kalian tidak tahu, bukan? Bahwa sebagian dari mereka amat menikmati kehidupan, memiliki keinginan masa depan yang lebih baik, dan tidak pasrah dengan keadaan. Saya bersyukur bisa mendengarkan cerita mereka, dan melihat raut wajah bahagia dengan kecrekan botol, gitar, atau suling bekas di tangannya. Menjadi pendengar yang baik adalah sebuah kebahagiaan bagi mereka, dan tentu saja, makan enak gratis ternyata lebih membawa kebahagiaan. Eits, tapi ada syaratnya, mau bantu menyucikan piring dan mau menghitung jumlah sisa kaki ayam.

Semoga kamu yang membaca tulisan ini, bisa lebih menyayangi anak-anak jalanan.

Mas Wisnu,
Owner "Rumah Makan 94" 

Takdir, Waktu, dan PenerimaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang