Cafe ini memiliki dua lantai, lantai satu untuk umum; satu meja dengan empat kursi, ada juga satu meja dengan 2 kursi, bisa juga booking meja untuk lebih dari 4 orang. Sedangkan lantai dua untuk privasi; cocok untuk anak sekolah, kuliah atau siapapun yang membutuhkan ruang untuk berdiskusi, atau menyendiri dengan suasana yang lebih tenang. Mungkin, seharusnya aku memilih duduk di lantai dua. Tapi tidak, di sini, dekat jendela, menatap langsung ke jalanan dan ke seberang sana, adalah tempat terbaiknya.
Aku membenarkan posisi dudukku. Mengecek jam tangan, sudah hampir pukul 19.00, dan cafe ini tutup pukul 23.00. Sambil menunggu pesananku tiba, pikiranku kembali pada malam itu, malam yang dingin tanpa baju tidur ataupun selimut hangat.
---
Posisi terbaikku untuk tidur adalah pojok kiri paling belakang, padahal banyak tikus yang terdengar lalu lalang, dan suara lalat dari tumpukan sampah. Sudah dua bulan aku selalu tidur bersama bantal hijau pemberian seseorang. Bantal ini berbentuk lingkaran, tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil, dan ada gambar anak kucing di tengahnya.
Aku ingat sekali, hari itu kami dibangunkan dengan suara teriakan Ibu paling dahsyat sejagat raya. Kak Dina sampai lompat, kepalanya mengenai langit-langit karena terkaget, rambutnya yang ikal dan berantakan semakin membuat lucu kejadian itu. Aku pun seketika terduduk, lantas panik dan segera mengambil kecrekan botolku. Kak Bayu sudah lebih dahulu bangun dan sedang menyapu sampah yang berserakan di sekeliling rumah kardus kami.
Entah kenapa Kak Bayu memang yang paling rajin diantara kami, tapi hari itu dia sama sekali tidak membangunkan aku dan Kak Dina, tega sekali membiarkan kami mendengar suara teriakan mematikan itu. Nyawaku belum sepenuhnya mengisi jasadku, tapi kami sudah harus kembali menikmati kehidupan jalanan. Seperti biasa, titik awal kami adalah terminal bus. Di pagi hari orang-orang berangkat kerja, ramai, rasanya uang-uang itu seperti berkerumun, memasuki bus-bus. Itulah santapan pagi hari kami.
Dari bus satu ke bus yang lainnya, kami ikut saja kemana arah bus itu berhenti. Kemudian kami ke rumah-rumah warga, berdiri di pinggiran jalan, ke tempat-tempat nongkrong, dan sampailah kami di senja hari. Waktu itu aku sedang menunggu matahari terbenam di jalan layang dekat dengan rumah kardus kami. Pembatas jalan layang itu setinggi kepalaku, namun dindingnya seperti pagar yang mempunyai sela-sela.
Aku mengintip senja dari sela-sela itu, sungguh indah sekali, lebih indah lagi ketika Kak Bayu menggendongku di lehernya, demi agar aku bisa melihat senja dengan sempurna. Walaupun gendongan itu hanya kadang-kadang. Ketika kami hendak pulang, kami masih mencoba banyak peluang, mengecrek botol, memetik gitar plastik, dan memainkan suling bekas kepada orang-orang yang berlalu-lalang.
Kebetulan disana ada mobil yang terparkir, kebahagiaanku muncul tak terkira. Aku segera lari dan mencoba peruntungan. Benar saja, kaca jendela itu terbuka, dan seseorang memberiku bantal hijau ini. Walau bukan uang, tapi aku bahagia.
Namun tak seindah yang aku bayangkan. Bantalku dirampas oleh anak jalanan lain. Mereka mengejekku dan melempar bantal hijauku ke kolong jalan layang ini. Aku pikir bantal itu akan terlindas oleh mobil-mobil atau kendaraan lainnya, ternyata angin berpihak padaku. Angin itu membawanya ke pohon rindang dekat kali yang ada di pinggir jalan, kemudian tergelincir jatuh ke tanah. Aku menarik napas panjang. Mataku sudah berkaca-kaca.
Kak Bayu berusaha membelaku, memarahi anak jalanan itu. Kemudian Ia berusaha menyelamatkan bantalku. "Hani, kamu dan Kak Dina tunggu aku di ujung jalan layang sana ya. Aku mau mengambil bantalmu dulu." Aku hanya menangis dan menuruti apa katanya. Tak lama kak Bayu datang dengan bantal hijauku. "Ini, jaga baik-baik." Ucapnya tegas. Lalu kami segera melangkah pulang, menuju rumah kardus kami.
Sejak hari itu, bantal hijau ini menjadi benda yang amat berharga. Entah siapa yang memberiku bantal ini, pasti dia juga ingin aku merasakan tidur nyenyak, walau dia tidak tahu bagaimana dinginnya tempat tinggalku. Siapapun dia, semoga kehidupan baik selalu berpihak padanya. Pun untuk Kak Bayu, dia selalu menjadi seperti malaikat penolong bagi kami.
"Hani! Belum tidur juga?" teriak seseorang dari pintu rumah kardus ini. Aku terkaget, ternyata aku telah melamun sambil menatap bantal hijauku. Aku menoleh ke arahnya, ternyata Kak Bayu yang sedang melepas jas hujan plastiknya.
"Sudah tidak hujan lagi, Hani. Aku mau tidur. Jangan berisik, nanti jika ibu pulang, kita ketahuan belum tidur." Kak Bayu berbisik. Aku menganggukkan kepala. Entah jam berapa ini, kemudian kami pun tertidur tanpa rasa was-was dengan hujan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir, Waktu, dan Penerimaan
Aktuelle LiteraturTakdir tak selamanya tentang waktu. Waktu tak selamanya tentang menunggu. Tapi, takdir dan waktu memaksa kita untuk bisa memahami arti sebuah penerimaan.