Suara jangkrik menghiasi perjalanan panjang Kak Bayu. Mengendap-endap di pohon, rumput-rumput tinggi dan dimanapun tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Ibu berjalan cepat sekali, dengan tas kecil di tangannya, tanpa menoleh ke belakang ataupun curiga ada yang mengikuti.
Untungnya ketika keluar dari lingkungan rumah kardus tadi, tidak ada yang melihat Kak Bayu mengikuti Ibu. Satu langkah lolos. Perjalanan ini penuh resiko dan Kak Bayu harus bisa mendapat sesuatu yang berharga.
Ketika sampai di persawahan, Ibu berjalan lebih lambat. Kak Bayu masih mengintip dari balik pohon dan tidak mungkin keluar pada saat itu juga. Karena sudah tidak ada lagi pohon-pohon besar di tengah sawah.
Suasana begitu gelap, hanya ada satu dua lampu. Kak Bayu masih terus memperhatikan Ibu dengan seksama. Ibu berhenti di sebuah rumah, berdinding kayu dan papan. Lampu di rumah itu remang-remang. Tak lama ada seseorang yang keluar dan memepersilakan Ibu masuk ke dalam.
Kak Bayu masih berada di kejauhan, tak mau mengambil resiko untuk melangkah lebih dekat. Tapi, ini kesempatan berharga jika bisa mendengarkan perbincangan mereka.
"Dek.." seseorang mengagetkan dari belakang.
Ini lebih menakutkan dari apapun. Gelap. Tak ada keramaian, tapi ada yang memanggil dari belakang. Kak Bayu menengok pelan.
"Sedang mengintip siapa?"
Orang itu belum terlihat jelas. Hanya ada siluet putih dari cahaya bulan. Kak Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ti.. tidak.. bukan siapa-siapa." kata Kak Bayu terbata-bata.
"Jangan takut. Saya hanya mau lewat, hendak membetulkan orang-orangan sawah yang ada disana." Orang itu menunjuk ke arah belakang rumah kayu itu, agak jauh.
"Kok malam-malam, Pak?" Kak Bayu mencoba mendekat. Ternyata seorang bapak paruh baya.
"Biar sekalian saja, dek.. sekalian capek. Bapak baru selesai mengantar hasil panen."
Kak Bayu memikirkan sesuatu.
"Pak, boleh saya ikut? Mungkin bisa bantu sedikit. Anggap saja saya anak bapak sendiri." Kak Bayu menyeringai. Sejatinya, Ia hanya ingin mencari tahu tentang rumah itu dan siapa orang di dalamnya.
"Boleh, dengan senang hati."
"Nama bapak siapa kalau boleh tau?"
"Panggil saja Pak Joko.. Adek siapa?"
"Saya Ba.. Banu.. Iya, saya Banu, Pak.."
Kak Bayu berhati-hati. Tak apa berbohong sedikit, daripada ada sesuatu yang tidak diinginkan.
Mereka berjalan di jalanan setapak. Tidak berdampingan, tapi depan-belakang. Tentu Kak Bayu di belakang Pak Joko. Suasana hening sekali. Hanya ada bunyi gesekan sandal dengan rerumputan, juga serangga sawah yang masih bersuara nyaring. Kak Bayu sangat memerhatikan Pak Joko. Rasa takut amat memenuhi kepalanya. Takut jika Pak Joko mengenal Ibu. Takut jika Ia malah tertangkap basah karena mengikuti Pak Joko.
Pak Joko memakai tas ransel hitam, sandal jepit, dan sebuah senter di tangannya.
"Lumayan jauh juga ya, Pak."
"Iya dek, sebenarnya kamu sedang apa disini?"
"Sa.. Saya hanya main-main saja, Pak." Kak Bayu tertawa kecil.
"Bapak tinggalnya dimana?"
"Saya tinggal di rumah itu." Pak Joko menunjuk rumah yang di datangi ibu.
Deg. Jantung Kak Bayu seketika berdegup kencang. Tidak terpikir sama sekali oleh Kak Bayu. Ini sangat gawat.
"Tapi, saya hanya menumpang, dek. Saya bekerja mengurus sawah, dan lain-lain."
"Dan lain-lain?" Kak Bayu nyeletuk.
"Eh.. maksudnya.. dan lain-lain.. eh.. pasti banyak aktivitas yang bapak lakukan, ya," Kak Bayu sudah agak panik.
"Bapak bekerja dengan siapa di rumah itu? Pasti seorang pengusaha yang punya sawah ini ya, Pak?" Kak Bayu menyeringai, kemudian menarik napas panjang. Sebetulnya Ia tidak mau berlama-lama disana.
Tak terasa Pak Joko dan Kak Bayu sudah sampai di tempat orang-orangan sawah yang hendak diperbaiki. Kak Bayu membantu memberi penerangan dengan lampu senter-sambil melirik-lirik ke arah rumah itu. Khawatir ibu keluar.
"Namanya Pak..." tiba-tiba ada suara ponsel berdering. Suara itu dari tas Pak Joko.
"Iya, halo, Bos?"
"Saya sudah dekat, Bos."
"Ha? Saya tidak mau ikut campur, Bos."
"Biar Bu Dewi saja.."
"Oke."
Dewi? Dewi itu nama ibu. Kak Bayu mulai agak gemetar. Senter yang sedang di pegangnya mulai salah arah.
"Adek baik-baik saja?" tanya Pak Joko.
"Ti.. tidak apa-apa, Pak. Cuma agak pegal saja pegang senter sebesar ini." Kak Bayu mencari alasan.
"Oh begitu, ini sebentar lagi selesai. Ngomong-ngomong dek Banu tinggal dimana? Apa tidak dicari orang tua main ke tengah sawah seperti ini?"
"Em... saya.. saya tinggal di perkampungan dekat sana, Pak." Kak Bayu berpikir keras.
"Nah, sudah selesai. Dek Banu mau mampir dahulu?"
"Mampir!?" Kak Bayu berteriak kaget. "Eh.. maksud saya tidak usah, Pak. Saya mau langsung pulang sudah semakin malam. Te..terimakasih, Pak." Wajah Kak Bayu sudah sangat panik. Kalau saja sedang pagi hari, mungkin dia sudah dicurigai.
"Baik, kalau begitu, saya mau langsung jalan ya, Dek. Kamu hati-hati." Kata Pak Joko pamit.
Kak Bayu berpura-pura mengambil arah yang berbeda, ke perkampungan sebelah kiri. Berjalan pelan. Melirik-lirik ke arah Pak Joko. Langkahnya terhenti. Kemudian berbalik arah, menuju rumah itu. Pak Joko sudah masuk ke dalamnya. Kak Bayu mengendap-endap ke arah belakang rumah itu. Lalu ke arah samping, mendekati jendela.
Kak Bayu berjalan membungkuk amat pelan, sedangkan jantungnya berdegup kencang. Pelan-pelan kepalanya menuju ujung jendela. Terlihat ibu sedang duduk membelakangi jendela itu. Sebelah kirinya ada seorang perempuan berambut panjang, dikuncir satu. Sedangkan di depannya ada dua laki-laki, tidak terlalu jelas karena jendelanya agak buram. Dua laki-laki itu ada yang berkepala botak, dan yang satunya berkumis tebal. Pak Joko terlihat masih membereskan tasnya. Kepala Kak Bayu turun-naik. Berhati-hati agar orang di dalam tidak menyadari.
"Saya harus memisahkan mereka bertiga." Terdengar suara dari dalam.
Kak Bayu berpikir sejenak.
"Saya tidak mau ikut campur."
"Saya tidak ingin keluarga...."
Kak Bayu lompat hingga terjatuh. Suaranya terdengar orang-orang di dalam rumah itu. Seketika mereka berhenti berbicara. Kak Bayu memperhatikan sekitar. Tikus kurang ajar mengganggu aksi mata-matanya.
"Ada apa di luar?" tanya seseorang dari dalam.
"Mungkin hanya tikus."
"Tapi seperti ada yang jatuh."
Seseorang berjalan mendekati jendela, menengok ke arah kanan dan kiri. Kak Bayu masih membungkuk tertutup semak-semak. Jantungnya berdegup lebih kencang. Sepertinya ia harus segera kembali ke rumah kardus sebelum ibu.
Ketika suasana mulai tenang, Kak Bayu berjalan pelan menjauhi rumah itu, lalu berlari kencang secepat kilat.
Langit malam itu indah sempurna. Bulan purnamanya amat gagah, ditemani bintang-bintang kecil yang berjarak berjauhan. Angin berhembus dengan kencang, se-kencang Kak Bayu berlari. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. Walau hanya sedikit tanda yang didapat, ia tetap yakin dengan hari esok. Hari esok dan seterusnya. Apa yang sedang disembunyikan, apa yang menjadi alasan, dan apa yang akan menjadi jawaban.
Kak Bayu masih berlari melesat cepat. Tak peduli seberapa banyak keringat yang menetes, tak peduli seberapa sulit ia menghela napas. "Suatu saat, Hani.. kita akan tahu jawabannya." gumam Kak Bayu dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir, Waktu, dan Penerimaan
Ficção GeralTakdir tak selamanya tentang waktu. Waktu tak selamanya tentang menunggu. Tapi, takdir dan waktu memaksa kita untuk bisa memahami arti sebuah penerimaan.