Part 7

565 65 11
                                    

Seperti biasa Anta akan menjemput Caramel sepulang sekolah. Pemuda itu sudah memarkir mobilnya di seberang jalan, tepat di pinggiran jalan yang mana di tempat itu ada beberapa pedagang dan stand kopi instan. Pemuda itu bersandar di mobilnya, memainkan kunci mobil itu dengan melempar-lemparkannya. Ia melirik jam, tidak lama lagi waktu pulang.

Anta menghitung mundur.

Lima

Empat

Tiga

Dua

Teng ... teng ... teng ....

Tipikal SMA Aksara, tepat waktu. Anta melorotkan kacamata hitamnya saat akan memidai satu persatu wajah-wajah anak SMARA yang keluar. Caramel berlum terlihat.

Kemana lagi bocah itu?

Tak lama berselang, siulet tubuh mungil, semampai—semeter tak sampai—milik Caramel pun terlihat. Anta melepas kacamatanya, bersidekap dan menatap datar pemandangan yang tak jauh di depannya.

Di sana, Caramel bersama seorang laki-laki, tersenyum malu-malu dengan wajah memerah.

Apa-apaan itu?

"Woi!" Teriakan Anta bukan hanya menarik perhatian Caramel, tetapi perhatian seluruh siswa yang sedang berdesakan keluar gerbang SMARA. "Cepetan! Panas, nih!"

Dusta! Jelas-jelas Anta dilindungi oleh naungan pohon rindang ini kok. Sejenak, wajah Caramel tertekuk, namun saat menoleh ke arah pemuda di sampingnya senyum lagi-lagi tersungging. Lama-lama Anta jadi gerah juga. Kalau begini caranya, dia benar-benar mirip sopir pribadi yang sedang menunggu tuan putri kencan.

Sialan!

"WOII, KOPI CARAMEL MACHIATO, CEPETAN!" teriak Anta lagi, kali ini lebih kuat. Seakan tak peduli sekitarnya, Anta mengomel-omel tanpa suara, mengabaikan ekspresi kesal Caramel yang sedang menuju padanya. "Ngapain aja lo, genit? Lama!"

"Sopir kok protes," cibir gadis itu.

"Apa lo kata?" Anta nyaris saja tergoda mencekik gadis itu. "Jaga mulut lo ya, sebelum bener-bener gue cabein."

Caramel cemberut. "Lagian, Pelangi aja belum ada!"

"Pelangi pulang bareng temennya. Udah, ayo masuk!"

Caramel menghentakan kakinya sebagai ekspresi kesal. Gadis itu sempat menoleh ke belakang lagi, lalu melambaikan tangan dengan senyum manis.

"MASUK ATAU GUE TINGGAL!"

"Iya, sabar! Dasar iblis!"

"Lo yang iblis! Dasar Caramel machiato, gue seruput juga lo!"

Saat Caramel sudah duduk di kursi depan. Gadis itu menatap Anta horor. "Seruput? Bahasa kamu ambigu banget tahu!"

Anta cuek, mulai menyalakan mobilnya. "Biarin. Cewek sekecil lo gue pites dikit aja, dikasih ulet juga bisa ditelan."

"JAHAT!"

"Emang!"

Dan sepanjang jalan diisi berbagai perdebatan antar keduanya. Bahkan saat lampu merah, keduanya masih sempat berdebat soal berapa lama lampu merah ini akan selesai. Sungguh, bukankah hal itu tidak penting? Tapi, mendadak bagi Anta dan Caramel hal itu melebihi pentingnya penyelamatan Naruto dalam perang shinobi.

Getaran panjang ponsel Anta mengiterupsi perdebatan keduanya. Sebelah tangannya meraih benda pipih itu, sebelahnya lagi tetap berada di setir mobil menjalankan mobilnya dengan tempo yang lambat.

"Halo, Ma. Ini Anta di jalan mau pulang ke rumah kok. Kenapa, Ma?"

Diam-diam Caramel memperhatikan Anta dari samping. Sembari bersidekap dada, Caramel memiringkan tubuhnya. Kalau saja Anta itu nggak kurang ajar, mungkin Caramel akan senang hati menerima fakta bahwa cowok di sampignya ini memang tampan. Sayang sekali, Caramel terlanjur kesal. Memikirkan betapa bayaknya penggemar si raksasa kurang didikan ini membuat Caramel tak habis pikir. Zaman sekarang cewek-cewek memang cenderung lebih memikirkan kesejahteraan mata, bukan hati. Untuk apa mata selalu mendapat asupan pemandangan yang indah, tetapi hati tidak mendapat tempat yang nyaman?

Bad Boy [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang