Part 2

775 78 7
                                    

Tidak selamanya cinta bisa dinalar oleh liogika kita. Terkadang, secara samar, dan terselubung cinta itu menjadi sebuah gerakan magis, menyelimuti dirinya dengan perasaan benci yang akan membawa pada sebuah penyesalan. Waspadalah.

***

Caramel hanya bisa meringis dan mengumpat dalam hati ketika harus rela duduk di depan raksasa kurang didikan yang tadi pagi berhasil membuatnya naik darah. Caramel menggumamkan istigfar berulang-ulang agar tetap tenang. Dunia memang tidak adil! Kenapa harus ada anak sejenius dan serusak Antariksa? TIDAK ADIL!

Saat ini sedang berlangsung pelajaran matematika. Caramel mencoba untuk fokus, tanpa tahu bahwa di belakangnya Anta sedang tersenyum miring merasa senang karena mendapat mainan baru.

Kunciran Caramel ditarik, membuat kepala gadis itu yang awalnya menunduk jadi tersentak ke atas. Suara cekikikan di belakang, sudah jelas membuktikan pelakunya.

Caramel mencoba abai.

Tak mau diam saja, Antariksa kembali mendorong sandaran kursi di depannya. Menggoyang-goyangkan kursi itu dengan menendang kaki kursi, sampai menusuk belakang leher Caramel dengan pensil.

"Bu, sepertinya dari tadi ada yang ini Antariksa tanyakan," kata Caramel kesal.

Anta terkejut, menatap guru yang sedang menulis di papan itu menatap padanya.

"Oh, ya? Ada apa Anta?"

"Eh? Anu ... s-saya tidak-"

"Sejak tadi dia penasaran akan sesuatu. Entah apa," tambah Caramel membuat Anta melototkan matanya. Anak ini benar-benar menentang rupanya.

"Anta, ada apa?"

"Saya hanya penasaran, Bu. Kapan istirahatnya, capek saya." Kepalang tanggung, mending Anta ladeni saja.

Bu Sasty membulatkan matanya. Dia meletakan buku catatan yang dipegangnya di atas meja, kemudian menatap anak teman sebangkunya dulu itu dengan wajah lelah. Anta selalu membawa masalah, seperti Mamanya dulu.

"Anta, kamu tahu kan, Ibu sangat mengenal Mamamu."

"Semua juga tahu kali, Bu."

Bu Sasty tersenyum sabar. "Kalau Ibu kehilangan kesabaran, mungkin Mamamu sendiri yang datang dan menghukummu di sekolah. Jadi, bagaimana kalau kamu tenang dan tidak usah bertingkah?"

Anta memutar matanya. "Makanya, Bu, mending saya keluar saja dari pada saya di sini, hanya buat masalah. Iya kan?"

"Ya sudah, terserah kamu. Silakan keluar!"

Anta tersenyum lebar tanpa dosa. "Makasih banyak, Bu. Ibu memang yang terbaik!"

Caramel melihat itu dengan gelengan kepala. Siswa model begituan dapat rangking 1 paralel? Apa yang dipikirkan sekolah ini, hingga Anta yang berantakan seperti itu harus menjadi si nomor 1?

"Hati-hati aja, Mel. Apa yang dikatakan Anta bukan bualan semata, sekali bermasalah dengan dia, pilihannya hanya dua. Hengkang dari sekolah, atau-"

"Jadi mayat sekolah." Caramel memotong laju kalimat Ella dengan nada malas. Ia menatap teman sebangkunya itu dengan raut tak minat. "Aku nggak akan takut dengan ancaman bocah kurang didikan seperti itu, La."

Ella mengatupkan bibir. Tipe cewek keras kepala. Benar-benar lawan yang sebanding. Caramel tidak tahu saja, bahwa Ella hanya ingin mengingatkan. Anta bukan orang yang pantas untuk dijadikan musuh.

>><<

"Helo, baby!" Anta mendudukkan bokongnya ke atas meja, tepat di hadapan seorang gadis yang sedang makan. "Gue boleh ikutan makan, ya?"

Caramel menatap cowok itu jengah. "Harus banget kamu makan di sini? Masih banyak meja kosong."

Anta mengulum tawa mendengar sapaan 'kamu' dari cewek itu. Berbeda dari gerombolang pembully pada umumnya yang akan beranggotakan lebih dari dua orang, Anta hanya seorang diri, dia tak memiliki sekutu di sekolah ini. Bergerak sendiri tanpa ada yang bisa menghalanginya.

"Harus dong. Bebas aja!" sahut Anta asal-asalan.

"Kamu ... astaga, benar-benar kurang didikan," gerutu Caramel kesal.

Ella yang melihat situasi itu, langsung mengambil alih. "Anta, maafin Caramel ya, dia anak baru jadi belum tahu aturan lo. Nanti gue akan selalu ingetin dia," kata Ella takut-takut.

Anta menatapnya sekilas, lalu beralih ke wajah Caramel. "Tapi, menurut penglihatan gue, temen lo ini emang berniat menantang sih. Dia juga nggak ngerasa udah melakukan kesalahn."

"Karena aku nggak melakukan kesalahan!"

"See?" Anta menatap Ella dengan senyum iblisnya. "Anak seperti ini harus dikasih pelajaran dulu baru ngerti."

Ella gelagapan, menarik Caramel agar berdiri. "Sorry, An, j-jangan gitu lah. Maklumin dia dulu, g-gue akan-"

"Nggak perlu." Anta memotong ucapannya. Lelaki itu berdiri dengan tenang, mengambil gelas berisi orange jus, membuka tutupnya dan dengan santai menuangkan isinya di kepala Caramel.

Hal itu membuat Ella melepaskan tangannya dengan lemas, lalu mundur teratur. Tidak ada yang boleh ikut campur dengan urusan seperti ini, kecuali jika ia ingin bergabung menjadi pecundang Anta. Semua orang di dalam kantin berdiri, menyiapkan ponsel mereka, dan mulai berbisik-bisik dengan suara tertahan.

Caramel mendecak samar saat merasakan kulit kepalanya lengket. Ia menangkat wajah, menatap Anta yang kini tanpa ekspresi di depannya. Caramel melepaskan kunciran, membebaskan rambut hitam semi panjangnya itu tergerai.

"Setelah ini apa lagi?" tanya Caramel santai, bahkan tanpa emosi. Anta menatapnya terkejut. "Nggak mungkin hanya ini doang, kan? Soalnya aku nggak akan nangis hanya karena masalah seperti ini, Anta."

"Lo bener-bener nantangin orang yang salah." Anta mendesis, mengikis jarak di antara mereka lalu mencengkram kerah kemeja gadis di depannya dengan satu tangan. "Lo pikir gue akan mempertimbangkan gender saat menyiksa?"

"Tentu saja tidak. Mana mungkin iblis seperti kamu itu punya pertimbangan? Mustahil! Aku malah lebih percaya jika kamu sanggup membunuh orang."

Anta tersenyum miring, menarik kerah itu hingga mendekat ke wajahnya. Caramel harus berjinjit karena tubuh mungilnya dipaksa menengadah kasar seperti itu.

"Lo ini tipe keras kepala, ya?" Anta merapikan anakan rambut yang menghalangi wajah gadis itu, lalu tersenyum iblis menatap bibir mungil yang gemetar kecil. "Lo pasti tahu gue ini berengsek, iya kan?"

"Ya. Kamu berengsek! Bajingan!"

"Biar gue kasih tahu bagaimana visualisasi berengsek dan bajingan yang sebenarnya!"

Detik selanjutnya setelah kalimat itu meluncur, Anta menghapus jarak di antara mereka. Merangkul bahu gadis itu dengan satu tangan, lalu tangan lainnya memegang tekuk. Anta mencium bibir Caramel. Bukan hanya mencium, tetapi melumatnya dengan kasar.

Teriakan heboh tak bisa dibendung lagi. Cahaya blitz dari beberapa ponsel menyerbu kejadian itu, sementara Anta mendadak kehilangan fokus. Pemuda itu berhenti menggerakan bibirnya dengan kasar. Bisa ia rasakan tubuh gadis di dekapannya ini bergetar, ia semakin mengeratkan rangkulannya, masih dengan bibir yang menyatu, air mata Caramel mengisyaratkan sesuatu yang buruk.

Tubuh Caramel semakin lemas, Anta mengeryit saat merasakan beban yang bertambah di lengannya. Dia menjauhkan wajah, menatap Caramel untuk memastikan dugaannya.

Benar. Caramel pingsan!

Poor Anta!

>><<

A/N : Pokonya harus komen, wkwk. Vote jangan lupa, ya. Itu bentuk support dan apresiasi buat aku. Makasih untuk yang selalu meninggalkan semangatnya di cerita ini. Semoga nggak mengecewakan, ehe.

Sulteng, 10 April 2020
Masih dengan Emeliy

Bad Boy [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang