Chapter 5

737 136 15
                                    

"Bawa semua ini ke kasir. Saya mau terima telepon dulu"

Indi sampai mundur satu langkah ke belakang saat sosok laki-laki yang tadi di kantin menyeretnya keluar di jam kerja dengan alasan ketemu klien memberikan semua pakaian yang dipilihnya kepada Indi.

Ketemu klien apaan!

Indi ditinggalkan sendiri menuju kasir karena laki-laki tersebut sudah keluar butik dengan menempelkan Hpnya ke telinga dan mulut nyerocos layaknya halo dua puluh empat jam.

Indi menatap semua pakaian yang ada di pelukannya. Bahkan salah satu pakaian yang masih di hanger itu mencolek bibir merahnya dan Indi yakin 99,9 persen kalau gincu merah manjalitanya sudah melekat di pakaian itu.

Gue belum di kasih duit udah disuruh bayar aja!

Indi mendengus menatap punggung pria itu yang masih sibuk dengan Hpnya lewat kaca butik.

Kok kebangeten men...

Sambat belas rak ono perhatian...

Jelas ku butuh duit mu

Rak butuh medit mu...

Ok stop! Menatap punggung lebar disana membuat kepala Indi tanpa sadar melantunkan a song yang berjudul Kartonyono medot janji. Ngomong-ngomong itu salah satu lagu favorit milik Mak Ipeh yang dia karangsemen sendiri.

Selain lagu miilik Denny Caknan, Mak Ipeh juga punya lagu favorit lainnya. Dari Kangmas Didi Kempot sang ketua sobat ambyar yang mana Indi mendedikasikan dirinya sebagai salah satu anggota sobat ambyar. Lagunya selalu ada di setiap list lagu yang akan diputar di speaker Mak Ipeh.

Mak Ipeh pasti tidak akan melupakan lagunya yang Pamer bojo, cidro, parangtritis, jambu alas, sewu kuto, sama stasiun balapan. Hapal kan Indi, iya dong!

Jadi karena rumah Mak Ipeh ini berdempetan dengan rumah lainnya  bisa kalian bayangkan bagaimana nyaringnya musik yang kedengaran sama tetangga?

Tapi tetangga disana cukup ramah kok. Kalau mereka merasa terganggu dengan suara speaker maka mereka juga akan membalasnya dengan memutar speaker dengan lagu pilihan.

Indi sampai hapal, biasanya tetangga sebelah kanan rumah akan memutar lagu dangdut kesayangannya sebagai aksi pembalasan. Lalu tetangga sebelah kiri  memutar lagu K-pop dengan volume menyaingi speaker keduanya.

Belum lagi yang tinggal dibelakang rumah Mak Ipeh. Kawasan pecinta diskotik dengan  musik dj yang mampu menggoyangkan ujung kaki hingga ujung kepala leng geleng-geleng guk angguk-angguk. Begitu terus sampai muntah kuning.

Hanya tetangga depan rumah Mak Ipeh yang bener. Haji Somad yang punya usaha tenda sewa punya sound system mengalahkan suara speaker-speaker mini dengan memutar ayat-ayat rukiyah setiap jam sembilan pagi, lima sore dan delapan malam.

Bisa lihat keramahannya? Awal Indi tinggal bersama Mak Ipeh, Indi sampai pergi ke dokter THT memeriksa kesehatan telinganya. Takutnya kesehatannya  memburuk dan  menganggu cara kerja otaknya yang bisa saja berpengaruh pada kewarasannya.

Alhamdulillah ternyata aman. Hanya perlu dua kata saja agar bisa bertahan di pemukiman itu, yang pertama sabar, dan yang kedua sabar. Intinya sabar!

Oke baiklah, back to topic!

Indi mendekati salah satu pramuniaga toko yang sedang berdiri di dekat meja kasir dan menitipkan semua baju-baju tadi.

Setelah itu kakinya yang terbalut stileto merah darah melangkah keluar menghampiri pria itu yang tampaknya sudah selesai dengan urusannya di Hp.

"Sudah?"

Indi yang baru tiba sontak menggeleng. "Saya bayar pake apa ya pak?"

"Pake uang lah"

"Uang bapak kan? Saya belum dikasih tuh"

"Hm, sana bayar. Dan jangan panggil saya bapak diluar kantor kalau bukan dalam pekerjaan"

"Terus saya panggil apa dong? Mas? Bang? Kakak? Atau om?"

Indi terus nyerocos sambil menerima dompet yang pria itu sodorkan. Tanpa sungkan Indi membuka dan langsung melotot saat lihat isi dompet.

"Sana bayar"

"Ini uang Mas?"
.
.
.

Indi menutup pintu mobil itu dengan amat pelan. Takut, mungkin walau menjual satu ginjalnya tidak akan cukup mengganti rugi kalau-kalau pintu ini rusak karena tenaganya.

Berbeda dengan Indi yang terlalu hati-hati, pria disebelah malah membantingnya sesuka hati. Hal itu membuat Indi mengelus dada pelan, orang kaya memang beda.

Langkah kakinya berjalan sedikit berlari untuk bisa sejajar dengan Pria itu. Semua orang yang mereka jumpai di lobi langsung menunduk hormat dan tidak lupa melayangkan tatapan-tatapan yang Indi tidak tahu maknanya.

"Mas Bintang, itu kok mereka pada nunduk begitu. Kita aneh ya?"

Indi menarik tangan pria bernama Bintang itu agak kuat hingga membuat pemilik langkah panjang itu terhenti. Bersamaan itu pekikan pelan orang yang melihat itu langsung membuat Indi berdiri kaku

"Ini kok semua pada aneh mas? Mas Bintang mungkin ada salah sama mereka? Mereka pelototin kita"

"Kenapa saya yang salah?"

Indi berdehem pelan kemudian berbisik. "Saya karyawan baru mas, belum kerja apa-apa jadi gak mungkin saya yang salah. Mas kali yang ada salah sama mereka jadi mereka lihatin kita kayak begitu

Bintang menggeleng pelan dan kembali berjalan menuju lift. Indi yang ditinggal langsung menyusul cepat dan menahan pintu lift yang hampir tertutup.

"Aduh kok saya ditinggal sih mas. Kan kita perginya bareng berarti pulang ke kantor juga bareng"

Dalam hati Indi mendumel karena tingkah orang kaya ini sangat dingin. Khas orang kaya banget seperti di novel-novel romance milik Mak Ipeh yang ada dirumah.

Baru saja akan melangkahkan kaki masuk ke lift, kepala Indi terdorong kebelakang ulah telapak tangan Bintang yang memenuhi dahinya.

"Aduh! Apa sih mas, kan saya mau masuk juga"

Indi bisa melihat Bintang menggelengkan kepalanya seirama dengan telunjuk tangannya yang sebelah ke kanan dan ke kiri.

"No no no, ini lift dibuat khusus untuk orang kaya, orang miskin di sebelah sana"

Setelah itu Indi di dorong menjauh begitu saja dari depan lift yang sudah memasang ekspresi 'what the hell!' .

Masih bisa Indi lihat ekspresi songong selangit milik Bintang yang katanya orang kaya itu sebelum lift tertutup rapat.

"Najis mugholadoh tuh orang kaya! Fucek!"

.
.
.
Bersambung

Catatan Hati Seorang IndiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang