Part 2: Tidak Ada Pilihan

60 8 1
                                    

Sembari duduk di kursi, Jungkook menatap lembaran koran di meja. Tangan kanannya membentangkan tulisan bergaris itu dan fokus pada huruf bercetak besar yang menguasai halaman depan. Dalam artikel itu, diulas mengenai teroris 'Sang Pembantai' yang berhasil diringkus polisi.

Pupil matanya secara reflek mengecil karena membaca objek dekat. Suster Yoo Mi meliriknya sekilas sebelum menancapkan jarum pada nadi pergelangan tangan kirinya. Ia memilih sisi dan rotasi yang sesuai dengan hati-hati. Jarum mulai dibenamkan, alis Jungkook terlihat netral. Yoo Mi mendesah lega,  tidak ada tanda pemberontakan atau kesakitan.

"Bagaimana dengan Belindaku, Paman?" Jungkook memiringkan kepalanya, mencari objek lain. 

"Aku sudah meminta orang untuk mengurusnya."

"Kapan?" tanya Jungkook saat infus digantung pada tiang sampingnya.

"Seminggu."

Ia mendesah. Bukan karena kesakitan, tapi cemas. 

"Belindaku yang malang." ujarnya.

Yoo Mi mengamatinya, bagaimana pemuda kurus ini punya tenaga untuk berjalan dan membaca, bahkan mengungkapkan komplainnya. Apakah ia terlalu mengkuatirkannya?  Kapan pemuda ini akan kehabisan energinya?

"Sudah selesai," ujar Yoo Mi, Ia menoleh pada lelaki tua yang dipanggilnya Paman itu. Pria itu mengangguk, lalu dengan sikap tanpa memaksa, Yoo Mi menuangkan sup ke dalam mangkuk. Mengibaskan tangannya agar uap tersebut membawa aroma yang bisa memancing rasa lapar Jungkook.

Pemuda itu menurunkan pupilnya ke bawah. Kemudian kembali lagi mengalihkan pandangannya. Penolakan dirinya tertangkap oleh mata Yoo Mi. Meskipun berusaha membohongi diri sendiri, sebenarnya pemuda itu merasa lapar. 

"Aku akan meminta mereka untuk lebih cepat."

Mata Jungkook terlihat melebar, "benarkah?" 

"Asalkan kau mau menyantap sup itu."

Jungkook mengibas koran dengan jemarinya yang kurus. Ia menggerakan telunjuk jarinya ke kiri dan ke kanan.

"Aku kuatir Belinda harus menunggu lebih lama"

"Kau sangat menjengkelkan, Paman."

Yoo Mi memasukan peralatan medisnya dalam kotak. Paman berbalik menatap gorden seakan baru pertama kali dalam hidupnya melihat kain berwarna merah hati itu. Ia menyentuh permukaan kain itu dan memeriksa motif-motifnya dengan detail. Keduanya tampak sibuk atau memang sengaja menyibukan diri.

Denting sendok yang tak sengaja membentur mangkuk terdengar. Dalam hati Yoo Mi melonjak girang. Ia percaya, paman juga pasti merasakannya.

"Tanda-tandanya semakin terlihat jelas," kata Yoo Mi saat keduanya duduk di dapur. Paman menyeruput teh tanpa gula menunjukan sikap tenang seperti biasa. Usianya sudah meninjak 50 tahunan, sudah layak untuk dipanggil Kakek. Namun, Jungkook menolaknya. Ia ingin lelaki tua ini tetap dipanggil dengan sebutan Paman.

"Dalam skala yang ekstrim, depresi, menolak semua makanan, dan mungkin...." Yoo Mi meluruskan kursinya, "bunuh diri."

"Atur janji dengan psikolognya. Aku harus bertemu lagi dengannya."

Yoo Mi mengigit bibir bawahnya sebagai ekspresi kuatir.

"Bagaimana ini? Aku sangat takut, Paman! Dalam buku diarinya, ia menulis bahwa semuanya sia-sia. Dia mengira dirinya..."

"Huss! Nanti Jungkook bisa mendengar suaramu."

"Apa yang harus kita lakukan? Ia menolak semua terapinya."

"Sudah kubilang pelankan suaramu dan jangan tunjukan kegelisahanmu. Kau tahu dia begitu sensitif. Bisa-bisa emosi itu menjalar padanya. Terakhir kali itu terjadi, kita sangat kewalahan."

FINDING UNKNOWN LOVE(Sisi Gelap Jungkook dan Lisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang