2012
"Gila lo, Tin! Dua kali aja muka gue depan Fadil udah enggak ada harganya!" Baru saja Andina masuk ke mobil jemputan bersama Risa, gadis itu sudah misuh-misuh kepada Martin yang duduk di depan. "Udahlah, ilang muka gue. Udah terbang ke mana tau!"
Martin terkikik geli. Ia sebenarnya belum mengerti perkara apa yang Andina bicarakan, tetapi ia yakin itu ada hubungannya dengan anime dan manga yang ia rekomendasikan waktu itu. "Mohon maap, ada apa, nih? Ada apa?" tanyanya pura-pura bodoh.
"Lo nyuruh gue baca manga ecchi, yaoi, sama yuri, tapi lo enggak bilang kalo itu genre absurd semua. Udah gitu gue terlanjur ngomong ke Fadil kalo gue suka baca itu. Sialan." Sebesar apapun rasa malu Andina ditolak oleh Dirga, ia tak pernah merasa lebih malu lagi dibandingkan mengatakan terang-terangan bahwa ia menyukai genre itu kepada Fadil. Apalagi lelaki itu langsung pergi meninggalkannya, membuat situasi menjadi canggung di antara mereka.
"Parah banget lo, Tin. Si Fadil sekarang ngira Andina seneng baca cerita homo." Risa ikut tertawa geli. Ia tadi diceritakan oleh Dela bagaimana Andina dengan polosnya menyebut tiga genre manga itu tanpa tahu cerita macam apa itu. Tentu saja ia dan Nadine tak henti dibuat tertawa karena kebodohannya.
"Kan, lo minta rekomen, ya, gue kasih, dong." Martin mengangkat bahu beserta kedua tangannya seperti orang yang tak bersalah. "Lagian itu bukan genre absurd, selera orang beda-beda."
"Beda, sih beda. Tapi lo bilang itu high school love story, sebelah mana high school love story-nya!" Andina berdesis sebal. "Mana gue ketauan nonton anime bokep sama bapak gue. Kacaulah pokoknya kemarin."
Indy kini ikut tertawa bersama Martin. Sebenarnya saat Martin mengatakan tiga genre manga itu kepada Andina, ia tahu lelaki itu hanya mengerjainya. Tapi Martin sudah lebih dulu memainkan matanya pada Indy agar tetap diam. Respons Andina yang polos dan menerima saja juga membuat gadis bertubuh gemuk itu memilih untuk bungkam agar semakin seru.
"Lah, enggak salah, dong. Judulnya aja High School DxD." Martin mengangkat bahunya lagi.
"Ish," Andina menggertakkan giginya. "Bodo amat, males."
Martin lagi-lagi terkikik seraya melakukan tos dengan Indy. Mereka senang melihat Andina merajuk seperti itu. Berhasil mengerjai Andina merupakan hiburan tersendiri bagi mereka. Apalagi Martin sudah melakukannya dua kali.
"Udahlah, sekarang lo enggak usah rempong sendiri," tukas Indy. "Kalo lo jadi diri lo apa adanya juga nanti Fadil bakal demen, kok."
"Nah, betul itu." Martin menjentikkan jarinya menyetujui perkataan Indy.
Andina memutar kedua matanya. Ia, meski menyetujui pernyataan itu, hanya dapat bertopang dagu menatap ke luar jendela mobil. Oh, bagaimana bisa ia menjadi diri sendiri kalau Fadil sekarang lebih tertarik mengobrol pada gadis berparas Jepang bernama Dela? Andina hanya bisa merengut memikirkan itu.
Seolah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri atas saran Indy, Andina nyatanya masih saja berusaha untuk memahami hal kesukaan Fadil. Saat ini ia tengah duduk di depan televisi yang menayangkan anime One Piece. Ia lebih suka kartun yang sederhana seperti Doraemon atau Shinchan dibandingkan One Piece dan Naruto. Tapi persetan dengan semua itu, Andina akan memaksakan menonton hanya demi orang yang disukainya.
Belum sepuluh menit ia menonton dengan tenang, bunyi dering ponsel menggema di ruang keluarga. Sepertinya ponsel ayahnya yang sedang di-charge di sebelah televisilah yang berbunyi. Andina sedikit mendongak untuk melihat ke balkon lantai dua. Ayahnya tampaknya sedang di kamar sehingga tak mendengarnya. Baru saja Andina ingin memanggilnya, ponsel itu berhenti berbunyi. Gadis itu lantas mengedikkan bahunya masa bodoh dan kembali menonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Singgung
Teen FictionOrang-orang mengatakan, jika kamu menyukai seseorang, maka perasaan itu hanya bertahan selama 4 bulan. Lebih dari itu, artinya kamu mencintainya. Awalnya Andina hanya menjadikan anak lelaki itu sebagai pelampiasan move on saat SMP, tetapi ia tak tah...