2. Dari Mata Turun Ke Hati

164K 18.4K 2.6K
                                    

2012

"Main, kek, main." Indy menyahut setelah menutup kembali jendela mobil jemputan.

"Main apa?" tanya Risa.

Di antara teman-teman Andina yang lain, hanya Risa yang ikut satu jemputan dengannya. Andina ikut jemputan hanya untuk pulang sekolah, sementara jika berangkat, ayahnya yang selalu mengantarkannya sekaligus berangkat kerja. Ia tak begitu hafal rute pulang menggunakan transportasi umum.

"Yah, kok baru main? Kan gue udah mau pulang." Andina berujar dengan nada kecewa karena mobil jemputannya sudah mulai memasuki daerah kompleksnya yang berliku.

"Enggak apa-apa. Masih keburu." Teman jemputannya yang lain, Martin yang duduk di paling depan, kini berbalik menghadap belakang. "Main truth or dare, ayo."

"Enggak mau!" seru Andina langsung.

Truth or dare. Jika kedapatan memilih truth, maka pertanyaannya tak jauh-jauh dari, 'lo suka sama siapa?', 'sebutin satu anak kelas yang paling ganteng', 'di kelas lo paling suka sama siapa?'. Jika memilih dare, tantangan yang diberikan pasti tak tanggung-tanggung sampai menembak orang yang disuka. Bukankah sudah sangat terbaca?

"Yah, payah. Ayo, ikutan aja sebelum lo pulang!" bujuk Risa.

"Iya, Din, cepetan."

"Apa sih bagusnya truth or dare? Buka aib orang doang!" Andina mendengus.

"Sebesar apa sih aib lo? Kita paling nanya sama nyuruh yang enteng-enteng aja."

Andina diam-diam memutar kedua matanya. Sebelah mana menembak orang yang disuka terdengar 'enteng'? Terakhir Andina hendak melakukannya, ia berakhir mundur dengan wajah yang entah sudah ke mana karena Dirga bagai mengulitinya hidup-hidup dengan perkataan yang menusuk.

"Ayo, Din, ayo." Indy mengguncang paha gadis itu. "Enggak asik, nih."

Andina mengembuskan napas panjang. Pada akhirnya, ia terpaksa ikut permainan menyebalkan itu. Martin mengambil pulpen sebagai penunjuk target, beserta satu buku sekolah dari tasnya sebagai alas. Ia lantas memutar pulpen tersebut dan membiarkannya berhenti menunjuk salah satu dari mereka.

"Siapa yang pertama dapet, nih?" Risa menggosok kedua tangannya melihat pulpen itu berputar, merasa antusias dan penasaran meski berharap bukan dirinya yang kena. Sampai akhirnya, rotasi pulpen itu melambat dan berakhir menunjuk salah satu dari mereka.

"Indy!" seru Martin girang. "Truth or dare?"

"Truth aja."

"Hmm, apa, ya?" Lelaki itu mengusap dagunya seraya berpikir. "Lo... pernah enggak cebok pakai tangan kanan?"

"Apaan sih? Pertanyaannya kampungan amat." Gadis bertubuh gemuk itu berjengit mendengar pertanyaan yang tiba-tiba. "Ya, enggaklah!" jawabnya, namun jawaban yang terdengar mantap itu berubah menjadi keraguan sepersekian detik berikutnya. "Eh, apa pernah, ya? Kayanya pernah sih waktu gue baru belajar."

Martin, Risa, dan Andina terkekeh. "Jujur banget, sih. Seneng gue dengernya."

"Yaudah, lanjut aja," tukas Andina agar permainan selesai sebelum ia mencapai rumah.

Anak lelaki itu kembali memutar pulpennya. Sekali lagi, pulpen itu berputar cepat tanpa tahu akan menjatuhkan pilihan kepada siapa. Benda itu terus berotasi hingga akhirnya berhenti menunjuk gadis yang sama lagi.

"Kok gue lagi, sih?!" tanya Indy tak terima.

"Truth or dare? Jawab aja udah." Martin tertawa puas karena ia dapat mengerjai Indy lagi.

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang