29. Ku Ingin Engkau Di Sini

90.1K 14K 3.5K
                                    

2017

Ayah Andina meninggal dunia.

Ketika pria itu berpisah dengan anaknya yang hendak berangkat bimbel, lambaian tangan yang ia lakukan adalah sebuah tanda perpisahan sebelum pergi meninggalkannya untuk selamanya. Semua perawatan medis yang telah dilakukan, semua tabung oksigen yang silih berganti menemani hari-harinya di tempat tidur, sayangnya harus berakhir dengan selesainya usianya di dunia.

Dan apa yang Andina rasakan? Apa gadis itu merasa sedih? Faktanya, ia tak menangis setelah ibunya mengabarkan berita duka tersebut.

Andina merasa mati rasa.

Ia entah kenapa tak memiliki keinginan sama sekali untuk menangis. Perasaannya hampa. Andina sudah sejak lama menduga-duga kemungkinan terburuk karena tak ingin merasa kecewa dan rupanya kemungkinan terburuk itu akhirnya terjadi.

Melihat tubuh kaku ayahnya, juga ibunya yang terus menangis dan dibanjiri ucapan belasungkawa, membuatnya terdiam sepanjang hari. Kalimat-kalimat penenang dari keluarga besar agar ia tetap tabah justru terdengar seperti kalimat omong kosong yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Semua itu karena Andina tak merasakan apapun. Ia tak merasa sedih. Sejujurnya ia juga bingung. Tapi itulah kenyataannya.

Notifikasi grup-grup sosial medianya penuh oleh ucapan belasungkawa. Teman-teman sekolahnya berdatangan ke rumahnya untuk menjadi support system, termasuk Rafa. Untuk pertama kalinya, lelaki itu menginjakkan kaki di rumah Andina.

Tak hanya teman-teman SMA-nya, Risa, Dela, dan Nadine juga datang ke rumahnya. Kehadiran mereka cukup menjadi penyemangat baginya. Setidaknya, Andina merasakan sesuatu, bukan hanya kehampaan.

"Yang kuat ya, Din..." Nadine menggenggam tangan Andina seraya mengusapnya. "Gue tahu lo pasti bisa ikhlas. Lo udah jadi anak yang baik untuk nurutin kemauannya. Dan gue tahu lo pasti bisa tetap membuat bangga Papa lo meski udah enggak di sini."

"Sebentar lagi juga UN, gue yakin lo pasti bisa bangkit, Din. Dan Papa lo pasti akan bangga dengan apapun hasilnya. Jadi yang semangat ya, Din."

"Kalo lo butuh apa-apa, kita pasti selalu ada. Jangan pernah ragu untuk hubungin kita. Ya?"

Sekali lagi, kalimat-kalimat itu bagaikan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Mudah untuk mengatakan bahwa ia harus kuat, tabah, ikhlas, dan semangat, tetapi apakah mudah untuk melakukannya? Semua itu tak seperti membalikkan telapak tangan.

Meski begitu, Andina hanya tersenyum tipis menanggapi teman-temannya. Jika saja mereka tahu bahwa kehadiran mereka sudah lebih dari cukup baginya. Ia tak perlu kalimat-kalimat penenang yang hanya mudah diucapkan di mulut itu.

"Dikuburnya kapan, Din?" Ica, yang duduk di belakang Andina dan teman-temannya, sedikit maju untuk bertanya.

"Besok, jam sembilan."

"Jam sembilan?" Debby mengangkat kedua alisnya. "Yah... maaf, Din, kalo begitu kayaknya kita enggak bisa ikut ke makam besok karena masuk sekolah. Tapi doa kita tetap menyertai kok, Din." Gadis itu tersenyum tulus kepada Andina seraya mengusap pundak temannya.

"Enggak apa-apa, kalian melayat ke sini aja gue udah berterima kasih banget. Makasih ya udah sempatin waktunya." Andina sekali lagi tersenyum, meski kedua matanya tampak kosong dan redup.

Pandangan gadis itu menangkap Rafa yang sedang duduk di kursi roda bersama anak laki-laki di tenda depan rumahnya. Lelaki itu memerhatikannya sedari tadi. Ia memerhatikan Andina yang diam saja menatap kosong ke lantai selagi teman-temannya berusaha menghibur.

Rafa menghela napas pelan. Ia mengarahkan dua jarinya ke mulutnya menandakan Andina untuk tersenyum meski sedikit saja, persis seperti yang ia lakukan saat pemotretan buku tahunan. Dan saat itu, Andina kembali menyunggingkan senyum untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja—meski ia tidak yakin akan hal itu.

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang