21. Pandangan Pertama

82K 12.3K 771
                                    

2014

"Wiih... kamarnya enak."

Ica dengan santainya langsung menjatuhkan dirinya di kasur Andina. Ini adalah kali pertama Ica, Vanessa, dan Debby bermain ke rumahnya. Ica tak malu-malu untuk menunjukkan kekagumannya pada barang unik apapun di rumah Andina.

"Wah, mahal banget ya, Din, vas yang ini?"

"Gila, kacanya gede banget! Puas nih gue dandan di rumah lo."

"Din, gue kalo mager olahraga di luar, lari-lari keliling ruang tamu lo udah kurus kali, ya?"

Setidaknya itulah yang Ica katakan sesaat ia menginjakkan kaki di sana. Bahkan sekarang gadis itu sedang melambung-lambungkan dirinya di tempat tidur Andina, berkata bahwa kasurnya begitu empuk dan enak seperti trampolin.

"Mau minum apa semuanya?" Andina menaruh ranselnya di lantai. Ia menyalakan tab-nya yang ditinggal seharian penuh.

"Apa aja, Din. Enggak usah repot-repot," jawab Debby.

Andina meninggalkan mereka sebentar ke dapur untuk mengambil gelas dan jus dari kulkas, sementara teman-temannya sibuk melihat-lihat barang milik Andina di kamar.

"Mantap, Andina pernah juara dua." Vanessa menunjuk plakat dan medali peringkat dua yang ada di atas rak. "Roman-romannya pinter nih anak."

"Ness, sini, dong. Enak nih kasurnya." Ica merentangkan tangannya lebar karena sprei Andina begitu sejuk.

Debby hanya menggeleng melihat tingkah laku norak kedua temannya. Ia lebih memilih duduk di meja belajar dan melihat-lihat koleksi pajangan di sana. Sesuatu berwarna kuning keemasan saat itu berhasil menarik perhatiannya. Sebuah buku berbentuk landscape dengan ukiran indah di bagian depan terletak di tumpukkan buku paling atas. Karena penasaran, ia mengambilnya.

Ukiran indah di muka buku tersebut membuat alisnya meninggi. Debby baru mengetahui dari SMP mana Andina berasal. Jujur saja, ia kaget. Ia tentu tahu tentang sekolah ini. Lebih dari tahu.

"Adanya jus jambu, enggak apa-apa, ya?"

Sang tuan rumah masuk ke kamar dengan membawa empat gelas kosong beserta kotak jus. Ia meletakkannya di meja belajar.

"Enggak apa-apa, Din. Gue suka, kok." Ica bangkit dari posisi berbaringnya. Ia baru saja hendak mengambil gelas ketika bunyi pesan masuk LINE terdengar dari tab Andina. "Din, ada LINE masuk."

Andina yang sedang menuangkan jus ke empat gelas tersebut hanya berdecak. "Biarin aja."

"Dari..." Ica melongo pada layar tab. "Hah? Rafa Januar? Rafa teman kita?"

Semenjak Rafa pertama menge-chat-nya, lelaki itu terus mencecarnya dengan pertanyaan dan topik yang membuat Andina jengah. Terlihat sekali bahwa Rafa sengaja bertanya hal tak penting agar bisa terus chat dengannya. Andina sendiri tak tertarik dan hanya merespons seadanya.

"Iya," jawab Andina singkat.

"Gila, lo didekatin Rafa? Gue kira Rafi yang tertarik sama lo."

"Apa?!" Vanessa yang tengah melihat-lihat koleksi buku Andina langsung menengok. "Ica, Rafi itu pacar gue!"

"Rafi pacar lo?!" Andina dan Ica berseru bersamaan. "Pantesan lo akrab banget sama dia."

"Iyalah, orang udah dari kelas tujuh."

"Wow," Ica menggeleng takjub. "Hebat juga."

"Din, kalo Rafa udah nge-chat lo, percaya sama gue, dia tertarik banget sama lo." Vanessa menepuk pundak Andina. "Dia jarang suka sama cewek. Pendiam, sih."

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang