"Kita nikah aja yuk, Na?"
Kalimat yang meluncur dari mulut Fadil sukses membuat seluruh darah Andina turun hingga ke kakinya. Tubuhnya meremang. Matanya terarah bergantian pada kedua mata Fadil, masih mencari-cari tanda bahwa lelaki itu hanya bercanda.
"Mau enggak?" tanyanya lagi. "Jadi istri gue? Kita bareng-bareng jadi tua, ngetawain hal-hal lucu masa SMP pas kita masih puber?"
Tidak, Fadil tidak mau menjadikan Andina sebagai pacarnya untuk bermain-main. Berpacaran itu sangat anak kemarin sore. Ia ingin Andina menjadi istrinya, seseorang yang bisa ia lihat setiap hari, bahkan semenjak membuka mata dari tidurnya. Jika Fadil tak bisa memiliki Andina di masa remajanya, maka ia ingin memilikinya di masa tuanya.
Yang tadinya tak dapat mengerjap, Andina kini menjadi mengerjap beberapa kali. Ia mengatur napasnya yang tak sadar sedari tadi ia tahan. Pandangannya turun menatap tak terarah pada kolam renang di hadapan mereka.
"Lo..." Suara Andina keluar dengan grogi. "Ngelamar gue di kondangan orang banget?"
Fadil terkekeh. "Yaa, kalo lo mau dan gue bisa, gue tarik lo ke pelaminan sekarang juga gantiin Martin sama istrinya."
Atas gurauan itu, Andina cepat-cepat meneguk minumannya untuk menjernihkan pikirannya yang semakin dibuat kacau oleh Fadil.
Apa ini? Fadil mengajaknya menikah? Fadil Kenandra, lelaki yang selama sembilan tahun menempati hatinya sejak SMP, seseorang yang berhasil membuatnya jatuh dari angkot karena salah tingkah, kini mengajaknya menikah?!
"M-Martin gimana, sih?!" Andina tiba-tiba saja mengomel. "Acara begini kok nyediain barang haram?! Mabok deh Fadil jadinya!"
Tawa Fadil sontak pecah. Gadis itu mengira Fadil sedang dalam pengaruh alkohol karena mengajaknya menikah.
Sekali lagi, Andina meneguk minumannya banyak-banyak hingga habis, cenderung menghindari tatapan Fadil.
"Na," lelaki itu menyerongkan kepalanya agar bisa melihat wajah Andina. "Tatap muka gue. Merah enggak?"
Dengan takut-takut, Andina menolehkan kepalanya kepada Fadil yang kini tampak lebih dekat. Ia memandangi wajahnya dengan seksama, meneliti dari alis, pipi, hidung, semuanya. Tak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu sedang dalam pengaruh alkohol.
"Enggak..."
"Enggak, kan? Lagian, yang ada bisa dirajam mama kalo gue sampai ketahuan nyentuh gituan!"
Andina menggigit bibir bawahnya. Rupanya Fadil tak bercanda. Ia benar-benar mengajaknya menikah.
Menikah itu artinya terikat dalam ikatan suci, kan? Menjalin hubungan yang sah sebagai sepasang suami-istri dan membangun rumah tangga bersama, kan? Atau jangan-jangan ada arti 'menikah' lain yang ia tak ketahui? Ya, pikirannya memang sedang kacau akibat pertanyaan yang tiba-tiba itu.
"Terus..." Fadil meliriknya. "Gimana?"
"Apa yang membuat lo mau nikahin gue?" Giliran Andina yang bertanya.
"Harus ya ada alasannya?" Fadil bertanya balik. "Enggak cukup karena lo Andina Raia aja?"
Andina mengatupkan mulutnya, menahan senyumnya untuk keluar meski gagal. Ia membuang wajahnya untuk menyembunyikan pipinya yang bersemu merah.
"Yaah, kalo emang harus ada alasannya," Fadil bersedekap, bergeser lebih dekat padanya. "Apapun yang bikin lo mau nerima gue, Andina Raia."
"Gue punya syarat kalo lo serius mau nikahin gue, Dil," ujar Andina. "Lo yakin sanggup?"
"Apa?"
"Gue enggak mau resign setelah nikah. Kalaupun akhirnya gue terpaksa berhenti kerja, itu atas keinginan gue sendiri, bukan karena dipaksa. Gimana? Sanggup jadi suami gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Singgung
Teen FictionOrang-orang mengatakan, jika kamu menyukai seseorang, maka perasaan itu hanya bertahan selama 4 bulan. Lebih dari itu, artinya kamu mencintainya. Awalnya Andina hanya menjadikan anak lelaki itu sebagai pelampiasan move on saat SMP, tetapi ia tak tah...