***
Silahkan koreksi jika ada typo:)
HAPPY READING AND ENJOY GUYS!!***
Mereka telah sampai di rumah Rain. Rain berjalan menuju ruang keluarga setelah dia mengucap salam di pintu depan. Di belakangnya, Tasya mengikuti sambil memegang tali ranselnya.
Terlihat Fani sedang membaca majalah di sofa.
"Assalamualaikum, Bun." Rain mengucapkan salam lagi. Fani yang mendengarnya langsung meletakkan majalah dan memasang wajah datar.
Rain tersenyum getir dan memandang tangan kanannya yang menggantung di udara. Tangan yang tadi niatnya akan menyalimi bundanya, namun Fani malah mengarahkan tangan pada Tasya.
"Eh ada Tasya ya, udah lama ngga main ke sini," ucap Fani sambil menggeser duduknya, menyuruh Tasya untuk duduk di sebelahnya.
"Hehe iya, Tante." Tasya menjawab sekenanya. Lalu memandang tak enak pada Rain yang hanya dibalas gelengan kepala, tanda bahwa Rain baik-baik saja. Kemudian Tasya duduk di sebelah Fani.
"Ya udah, Bun. Ra ke atas dulu ya, mau ganti baju. Sya, lo mau ikut sekalian ngga?" Fani yang mendengar hanya melirik sebentar pada Rain sambil memasang wajah tak suka yang kemudian berubah tersenyum ramah saat memandang Tasya.
Sungguh, Tasya merasa tak enak pada sahabatnya itu. Setiap kali dia main kemari selalu saja seperti ini. Rain yang diacuhkan dan Ia yang dimanjakan. Tapi dia juga tidak tahu apa yang terjadi antara ibu dan anak itu. Karna ketika Rain bercerita tentang masa kanak-kanaknya, ia bercerita tentang sosok ibu yang sangat menyayanginya.
"Ehm iya Ra, gue ikut. Kalo gitu Tasya sama Rain ke atas dulu ya, Tante." Fani menganggukan kepalanya ke arah Tasya lalu Tasya berlalu bersama Rain menuju lantai atas.
"Ra sorry ya, tiap gue ke sini pasti bunda lo jadi cuek gitu."
Rain menghentikan langkah kakinya yang akan menapaki anak tangga terakhir. Menarik napas, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Mencoba tegar dan tetap tersenyum lalu dia memandang Tasya yang berada di anak tangga di bawahnya.
"Ngga papa, gue udah biasa kok, Sya. Ngga usah ngerasa ngga enak gitu. Bunda gue bisa jadi Bunda lo juga kok." Rain tersenyum manis menyembunyikan kesedihannya. Tapi senyum itu terlihat dipaksakan di mata Tasya. Dia tahu, ada yang disembunyikan oleh sahabatnya itu.
Mereka melanjutkan langkahnya dan memasuki sebuah kamar. Kamar dengan cat dinding warna biru dengan hiasan awan putih di langit-langitnya.
"Tapi gue ngga enak sama lo. Lo kan anaknya kok malah gue yang dimanja." Tasya langsung saja duduk dikarpet yang ada di Kamar Rain.
"Udah ngga papa, dibilangin ngeyel banget sih lo. Ngga usah dibahas lagi." Rain melempar bantal ke arah kepala Tasya, mencoba tertawa dan sedikit mencairkan suasana. Tapi sayang, lemparannya meleset karena dengan gesit Tasya mengelak.
"Ck, santai dong, Sister! Ngga usah ngelempar bantal juga, ntar kalo kena muka gue kan bahaya kalo muka yang mulus,kinclong kaya--"
"Kaya tambal panci kan?" Belum selesai Tasya berkata, sudah di sambar dengan perkataan nyeleneh Rain.
"Ngawur aja lo. Enak aja muka gue disamain sama tambal panci." Tasya yang tak terima dengan perkataan Rain langsung melemparkan balik bantal yang tadi dilempar Rain. Tapi dengan gesit juga Rain menghindar dari lemparan maut itu.
"Loh? kan bener. Coba deh lo bayangin tambal panci! Mulus ngga?" Rain bertanya untuk menjebak Tasya.
"Iya."
"Kinclong ngga?" Tanya Rain lagi.
"Iya."
"Ya udah, sama kan sama apa yang Lo bilang tadi, mulus dan kinclong, glowing." Rain memegang wajahnya, tersenyum manis sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Ck ngeselin lo, Ra. Tau ah gue kesel." Tasya mengalihkan pandangannya dari Rain, melipat kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya. Pura-pura marah pada Rain.
Rain tertawa terbahak-bahak melihat sahabatnya itu dan berlalu mengambil baju ganti. Kemudian punggungnya hilang dibalik pintu kamar mandi yang tertutup.
Tasya memandang pintu kamar mandi itu. Berpikir, apa yang sangat lucu dari semua ini hingga membuat sahabatnya itu tertawa sangat keras.
Tiba-tiba dia mengingat artikel yang ada di instagram "Jika seseorang mudah tertawa karena hal sepele, artinya orang itu sedang kesepian." Begitulah isi artikel tersebut. Ia melamun memikirkan artikel itu, apakah benar Rain sedang kesepian?
Tapi sepertinya tidak, lagi pula teori itu berasal dari mana? Tasya menggelengkan kepalanya.
Tasya tersadar dari lamunannya karena bunyi pintu yang dibuka. Bukan pintu kamar mandi yang terbuka, melainkan pintu kamar Rain. Menampilkan wanita paruh baya mengenakan daster sedang membawa nampan dengan 1 gelas minuman di atasnya.
"Ini, Non minumnya." Mbok Sum, dialah ART di rumah Rain. Mbok Sum meletakkan segelas minuman itu di atas nakas samping tempat tidur Rain.
"Iya, Mbok. Makasih ya, tapi kok cuman 1, buat Rain mana?" Tasya bingung, kenapa Mbok Sum hanya membawa 1 gelas.
"Oh tadi saya disuruh sama nyonya cuma bikin 1, Non. Katanya buat Non Tasya. Kalo gitu Mbok ke bawah dulu ya, Non. Permisi." Mbok Sum berlalu dan menutup pintu kamar.
Cklek
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Rain dengan kaos putih bertuliskan "Girls" dan celana pendek selutut berwarna hitam.
"Siapa tadi, Sya? Kok kaya ada suara orang." Rain berjalan menghampiri Tasya yang ada di karpet dan duduk di sebelahnya.
"Mbok Sum tadi, nganter minuman," ungkap Tasya. Rain mengangguk tanda mengerti.
•••
Rain menutup gerbang rumahnya setelah memastikan Tasya sudah pergi dari halaman rumahnya. Tasya pulang dengan jasa ojek online. Sebenarnya Fani menawarkan pada Tasya untuk diantar oleh supirnya, tetapi Tasya menolak dengan alasan takut merepotkan.
Rain lagi-lagi tersenyum getir mengingat hal itu. Bundanya bisa berbicara lembut dan ramah pada Tasya, tapi mengapa dengan anaknya ia tidak bisa?
Rain menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran itu lalu dia berjalan menuju ke pintu utama. Setelah memasuki rumahnya, terlihat Fani duduk di ruang tamu bersama Nika yang berada di pangkuannya.
"Bun, Rain ke atas dulu ya. Mau ngerjain tugas."
Rain tetap berusaha bersikap sopan pada Bundanya, karena bagaimana pun Fani adalah orang tuanya. Kewajiban anak pada orang tua adalah menghormatinya.
"Kak Ain! duduk sini dong, temenin Nika main sama Bunda." Nika menepuk-nepuk sofa di sampingnya, menyuruh Rain duduk.
Baru satu langkah ia akan menyusul Fero, ucapan Fani menghentikan langkahnya.
"Kan udah ada Bunda, kenapa harus sama dia sih, Nik?" Fani mengelus puncak kepala Nika dan membenarkan letak poni gadis kecil itu.
Rain menggigit bibir bawahnya. Hatinya mencelos saat Bunda memanggilnya dengan kata 'dia' seakan enggan menyebut namanya.
"Aku mau minta cium Kak Ain, tadi pagi Kak Ain lupa ngga cium aku, kata ayah, aku boleh minta cium banyak-banyak ke Kak Ain." Nika berujar dengan wajah sumringah.
"Ya udah, sini! Nika ikut Kak Ain ke kamar aja ya. Bun, bolehkan?" Rain tetap memaksakan tersenyum di depan adiknya.
Dia berjalan setelah Fani menganggukkan kepala tanda setuju.
***
Makasih buat yang udah baca cerita aku.
Vote dan komen kalian sangat berharga buat penulis amatiran kaya aku. Kalo ada kritik dan saran silahkan kirim pesan ya:)Salam hangat
-Rf***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain | Slow Update
Novela JuvenilGimana sih rasanya dapet kasih sayang yang tulus dari kedua orang tua? Dan gimana rasanya kalo jadi korban pilih kasih dari ibunya sendiri? Itu yang lagi gue rasain sekarang. Gue rainastasya Anjani Putri, and this is my story.