#08#

116 39 9
                                    

Happy reading💕
.
.
.

Terik panas matahari yang menyengat dapat membuat kulit terasa terbakar, apalagi orang yang berdiri dibawahnya tanpa perlindungan apapun. Itulah yang dirasakan Kean, berdiri dengan posisi hormat pada tiang bendera.

Nasib sial datang menghampirinya hari ini, datang terlambat dan dihukum berdiri di bawah tiang bendera. Tadi pagi ia tidak berniat untuk kesekolah, tapi papanya menyuruhnya untuk sekolah, karena terlambat alhasil dia dihukum.

Kean bisa saja kabur ke rooftop menikmati sejuknya udara disana atau bolos melompati gerbang belakang. Tapi hal itu tidak dilakukannya bukan karena ia takut pada guru, tapi karena ancaman papanya semalam yang membuatnya tidak bisa berkutik biarlah ia mengalah untuk sekarang demi keselamatan gadisnya.

Mengingat hal itu membuat emosinya kembali memuncak, entah kenapa rasa rindu terbit dihatinya. Tapi hilang karena amarah yang dipendamnya dari kemaren.

Flashback on

Kean baru saja memasuki rumahnya, saat ia hendak menaiki tangga menuju kamarnya sebuah suara bass  menghentikan langkahnya. Kean tau itu suara papanya.

"Dari mana kamu!? Tengah malam baru pulang, mau jadi apa kamu hah!" Teriak papanya berjalan menghampirinya.

Aura tegang menyelimuti ruangan yang terdapat dua orang yang saling memandang dengan tatapan khasnya masing-masing.

Kean menatap papanya datar. "Bukan urusan Anda." Ujar Kean dingin.

Brata berusaha untuk menahan emosinya agar tidak memberikan pukulan pada anaknya sendiri.
"Jelas ini urusan papa, kamu itu anak papa." Ujar Brata dengan tenang.

"Anak? Heh." Sinis Kean memandang remeh papanya.

"Ya, kamu anak papa. Apa salah papa berbicara seperti itu?" Tanya Brata dengan sorot mata sendu. Ia sedih mendengar ucapan Kean. Andaikan Kean tahu yang sebenarnya pasti putra kecilnya tidak akan seperti ini.

Kean terkekeh pelan mendengar ucapan papanya.
"Salah karena kita hanya orang asing yang kebetulan bertemu." Jawab Kean dengan nada dingin.

Brata menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan apa yang barusan kean katakan. Menghirup napasnya pelan untuk menetralkan hatinya yang kembali ngilu akibat perkataan anak semata wayangnya.

"Terserah kamu mau bilang apa, kamu tetap anak papa Kean. Darah daging papa." Ujar Brata berusaha sabar.

Kean tidak memperdulikan ucapan papanya. Kembali ia lanjutkan langkahnya  menuju kamarnya.

"Apa gadis itu masih hidup?" Tanya Brata tiba-tiba, dan hal itu lantas  membuat Kean menghentikan langkahnya menuju kamarnya.

Kean membalikkan tubuhnya menghadap papanya.
"Apa mau anda?" Tanya Kean menatap tajam papanya. Ia tau pasti papanya sedang merencanakan sesuatu yang membuatnya tidak bisa berkutik.

Brata tersenyum tipis melihat reaksi anaknya walaupun menatapnya dengan tajam. Ia tau kelemahan anaknya ini, cuma perempuan itu yang bisa membuat seorang Kean mau menyerahkan dirinya cuma-cuma dan menuruti semua kemauannya.

"Kamu tau kan apa yang bisa papa lakukan pada gadis itu?" Tanyanya dengan nada penuh ancaman. Perkataannya itu berhasil membuat Kean tak berkutik.

Kean mengepalkan tangannya menahan emosi, kalau saja orang di depannya ini bukan papanya, mungkin sekarang ia telah membogem wajah orang di depannya ini.

AIRA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang