Namun semua apa mungkin? Iman kita yang berbeda..
Seorang wanita paruh baya terdiam menatap salah seorang anak gadisnya dari ambang pintu kamar. Ia hanya dapat menghela nafas berat. Sudah ketiga kali dirinya singgah di kamar sang anak hari ini, namun posisi anak gadisnya itu tak berubah. Masih di bawah selimutnya sambil memeluk sebuah boneka karakter.
"Dek, makan ya?" ucap wanita tadi.
"Nanti, tunggu kak Jinan makan juga." jawab sang gadis tanpa menoleh ke sumber suara.
Wanita paruh baya tadi duduk di tepi ranjang sambil mengusap lembut kepala belakang anaknya.
"Kamu belum makan dari kemarin, Dev. Nanti sakit."
"Dia juga belum makan sejak tiga hari yang lalu. Dia juga sakit, Ma."
Ya, gadis tersebut Devi. Dan wanita paruh baya tadi adalah sang Mama.
"Liat Mama Dev!"
Devi menurut, ia berbalik menatap sang Mama.
"Jinan sakit, kalo kamu juga sakit siapa yang doain Jinan supaya sembuh?" ucap sang Mama lembut sambil menyeka air mata sang putri.
"Apa kak Jinan bakal sembuh kalo Devi yang berdoa buat dia? Apa Tuhan kak Jinan mau denger doa Devi?" gadis tersebut menatap Mamanya dengan air mata yang masih mengalir.
"Sayang, Tuhan itu satu. Yang beda itu Devi sama Jinan. Selama kita berdoa yang baik dan tulus, Tuhan pasti dengar Dev."
Devi tak menjawab, ia memeluk erat sang Mama. Menumpahkan semua rasa sakit yang ia simpan sendiri semenjak dirinya kehilangan seseorang. Seseorang yang berharga dalam hidupnya.
"Doain Jinan." Devi mengangguk dalam pelukan Mamanya.
"Dia sakit karena Devi, Ma." Devi melepaskan pelukannya dan menghapus air mata di pipinya.
"Maksud Devi apa?"
"Dia hujan-hujanan tengah malem selesai latihan cuma buat ke galeri seni yang sering dia sama Devi datengin dulu."
"Jinan mau apa kesana?"
"Lukisan yang paling Devi suka di sana dijual. Kak Jinan ke sana buat beli itu. Buat Devi." jelas Devi tak dapat menahan air matanya lagi.
"Dia sakit dua hari di rumah. Terus dia dibawa ke rumah sakit karena tiba-tiba dia pingsan. Dan sampai hari ini, kak Jinan belum sadar." Lanjutnya.
Sang Mama tak merespon apapun mendengar cerita anak gadisnya. Ia hanya tak menyangka jika kejadiannya seperti itu. Sekali lagi, ia peluk gadis tersebut untuk menenangkannya.
Beberapa puluh menit berlalu, isakan Devi tak terdengar lagi. Devi tertidur di pelukan Mamanya.
***
"Devi kemana?" tanya Papa Devi pada istri dan anak sulungnya.
"Devi udah tidur, Pa." Jawab sang istri.
"Devi tidur jam segini? Ngga biasanya. Devi sakit?" Papa Devi mengerutkan keningnya.
"Devi ngga sak.."
"Devi sebentar lagi bakal sakit." Dea memotong ucapan sang Mama.
"Maksudnya apa Dea?" tanya Papanya.
"Papa nyiksa Devi kalo kaya gini, Pa. Kasian dia. Dia ngga pernah baik-baik aja semenjak itu. Mungkin yang Papa liat Devi masih bisa senyum, ketawa. Tapi itu semua cuma demi kita ngga khawatir sama dia. Coba datengin kamar dia sebelum Papa tidur, Papa bakal liat gimana sedihnya Devi. Ketika harus dipaksa menjauh dari salah satu sumber kebahagiaan dia. Apa menurut Papa kebahagiaan Devi masih lengkap? Engga, Pa. Kita beruntung Pa, Devi itu anak yang kuat dan nurut. Coba engga, bisa Papa bayangin apa yang mungkin terjadi." jawab Dea. Ia lalu beranjak dari ruang keluarga menuju kamar sang adik di lantai dua.